Cerpen Anak Sekolah – Hening di Ujung Senja

Cerpen Anak Sekolah – Hening di Ujung Senja

Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung & kita bersama Cerpen Anak Sekolah - Hening di Ujung Senja

Ia tiba-tiba muncul di wajah pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak sampaumur. Katanya itu anaknya yg bungsu. Kupersilakan duduk sambil mengajukan pertanyaan-tanya dlm hati, siapa mereka berdua?

“Kita sahabat bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dr tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dlm hati. Itu enam puluh tahun yg lalu. Tatkala itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung & kita bareng -sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum pula dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. “Tidakkah kamu-sekalian peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah kau-sekalian peduli kampung halamanmu?” tanyanya menciptakan gue agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah budbahasa yg tak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul kenangan di dlm benakku.

“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si Tunggul?”

“Ya,” jawabnya dgn wajah yg mulai cerah.

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dgn sarat iktikad. “Kita sudah sama bau tanah. Mungkin tak usang lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu pinjaman, gue akan menolongmu.”

“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dgn adik & kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dlm tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dgn urusan sendiri. Dan tatkala gue berkunjung ke kampung halaman, kutemukan ia dgn beberapa saudara akrab lainnya. Kudapati ia terbaring di kawasan tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dgn santunan oksigen. Matanya berkaca-beling sambil mulutnya berkata, “Kudengar kau tiba. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sukar baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya pada keluarga bersahabat.

Baca Juga:  KESEIMBANGAN

Dalam kesibukan, waktu jua yg memberi kabar. Seorang saudara akrab, waktu bertemudi Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yg ke-67.”

“Oh, Tuhan,” kataku pada diriku sendiri. Kami lahir dlm tahun yg sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia sudah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

***

Rendi selalu datang dlm mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, alasannya mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dgn meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri sarat harapan ini ia mengawali kariernya yg baru, bangkit subuh & mengidari kepingan kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yg dilakukannya, demi kehidupan yg tak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yg menenteng murung sebab kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota & keheningan pagi & senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dikerjakan dgn patuh. Tetapi usia yg di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada mitra untuk membantu. Semua bertahan hidup mesti berkejaran dgn waktu. Dari biro koran subuh, sampai rumah jompo dr siang sampai senja, kemudian pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, hingga waktu mengirim subuh & mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.

Tetapi, dlm kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dgn bus & kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yg mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di suatu stasiun kereta, petugas menjajal membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dlm kondisi tak bernyawa. Identitas dimengerti dgn alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menelepon nama yg tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan pada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke tempat tinggal anaknya, & dimakamkan saudara akrab yg ada di kota “Y”.

Baca Juga:  20 Kata Bijak Motivasi Menjaga Rasa Syukur Manjalani Hidup

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tetapi ia berhenti dlm kesepian, jauh dr kenalan & saudara. Beberapa kenalan saja yg menghantarnya ke kawasan istirah.

Terlalu sering ia tiba di dlm mimpi yg membuatku resah.

***

Beberapa waktu kemudian, gue mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai & mencoba membaca berita yg masuk.

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.

Lusiana seorang sekretaris administrator yg hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah & ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yg fana. Juga abangnya, pergi secara tiba-tiba entah menderita penyakit apa. Karier tak meninggalkan bekas. Tidak ada andal waris. Kawan-mitra meratapinya, & melepasnya dlm kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yg menaungi makamnya.

Tidak biasa gue berlibur dgn keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yg hidup di tengah hingar bingar Jakarta, yg berangkat subuh & pulang menjelang tengah malam dr kantornya. Ada kebosanan dlm tugasnya yg rutin, menciptakan ia mengambil keputusan libur ke Bali bareng orang tua. Aku yg sudah biasa masuk kantor & pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti alasannya adalah tak tahu apa yg harus dikerjakan waktu cuti. Dan sekarang, gue duduk di tepi bahari Hindia, melihat ombak memukul-mukul pantai, & sebelum senja turun ke tepi maritim, matahari memerah & lingkaran, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dr pelbagai bangsa terpaku di atas batu-kerikil.

Baca Juga:  Cerita Binatang Monyet dan Unta Peniru

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dgn tulisan:

Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan ia. Di dlm Kitab Sucinya banyak mata duit gila.

Ibu Maria menyusul suaminya yg sudah beberapa tahun meninggal dunia, dlm usianya yg ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yg dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dlm usia ke-67 ketika anaknya berpergian ke mancanegara & tak hadir tatkala penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

***

Aku baru saja mendapatkan telepon dr kakakku yg sulung, dlm usianya yg ke-78. Kudengar suaranya bangga, walaupun gue tahu sakitnya tak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dlm telepon itu berbunyi: Tetaplah sabar, Dik. Kamu & anak-anakmu, semua anak cucuku & buyut, supaya mereka tetap sehat….

Dan tadi pagi, gue teringat. Usia menjelang ke-70, meskipun sesungguhnya belum hingga ke situ, gue bertanya-tanya pada diriku, jejak mana yg sudah kutoreh dlm hidup ini, & jejak-jejak apakah yg berarti sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.

Cerpen lainnya => My Friend My Love