SOSIOLOGI KRIMINALITAS

Sosiologi Kriminalitas

Masyarakat terbaru yg serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi & urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat terbaru sungguh kompleks itu menjadi tak gampang. Kesulitan menyelenggarakan pembiasaan mengakibatkan banyak kebimbangan, kebingungan,

kecemasan & konflik, baik konflik eksternal yg terbuka, maupun yg internal dlm batin sendiri yg tersembunyi & tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang kemudian mengembangkan pola tingkah-laku menyimpang dr norma-norma umum, dgn jalan berbuat semau sendiri demi laba sendiri & kepentingan pribadi, kemudian mengusik & merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan penduduk seperti ini, imbas budaya di luar sistem penduduk sungguh mempengaruhi sikap anggota penduduk itu sendiri, terutama belum dewasa, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yg sangat besar terhadap pembentukan perilaku bawah umur, tergolong perilaku jahat yg dilaksanakan oleh bawah umur.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita senantiasa mendengar & mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yg dijalankan oleh anggota penduduk . Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tak hanya dijalankan oleh anggota penduduk yg sudah dewasa, tetapi pula dilakukan oleh anggota penduduk yg masih anak-anak atau yg biasa kita sebut selaku kejahatan anak atau sikap jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah jumlahnya dgn semakin lajunya perkembangan industrialisasi & urbanisasi. Kejahatan yg dijalankan oleh bawah umur pada pada dasarnya merupakan produk dr kondisi masyarakatnya dgn segala pergolakan sosial yg ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut selaku salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yg di anggap tak sesuai, melanggar norma-norma umum, akhlak-istiadat, hukum formal , atau tak bisa diintegrasikan dlm pola tingkah laris lazim.
Kejahatan dlm segala usia tergolong remaja & belum dewasa dlm dasawarsa lalu, belum menjadi dilema yg terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, hebat kriminologi , penegak hukum, praktisi sosial maupun masyarakat umumnya.
Perilaku jahat anak-anak & remaja merupakan gejala sakit (patologis) dengan-cara sosial pada anak-anak yg disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu berbagi bentuk tingkah-laku yg menyimpang. Pengaruh sosial & kultural memainkan peranan yg besar dlm pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal belum dewasa & remaja. Perilaku bawah umur  & remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurang atau tak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak & remaja yg melaksanakan kejahatan itu pada lazimnya kurang mempunyai kendali-diri, atau justru menyalahgunakan kendali-diri tersebut, & suka menegakkan standar tingkah-laris sendiri, di samping meremehkan eksistensi orang lain. Kejahatan yg mereka lakukan itu pada lazimnya disertai unsur-unsur mental dgn motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dgn disertai kekerasan. Pada lazimnya belum dewasa & remaja tersebut sungguh egoistis, & suka sekali menyalahgunakan & melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yg mendorong mereka melaksanakan tindak kejahatan itu antara lain ialah :
1.Untuk membuat puas kecenderungan keserakahan.
2.Meningkatkan agresivitas & dorongan seksual.
3.Salah-asuh & salah-didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja & lemah   mentalnya.
4.Hasrat untuk berkumpul dgn kawan senasib & sebaya, & kesukaan untuk menjiplak-niru.
5.Kecenderungan pembawaan yg patologis atau asing.
6.Konflik batin sendiri, & kemudian memakai mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yg irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dgn teori Lambroso, yg menyebutkan sebab-alasannya adalah kejahatan seorang cuma dapat didapatkan dlm bentuk-bentuk fisik & psikis serta ciri, sifat dr tubuh seseorang. Sebab-karena kejahatan menjadi aspek utama dlm proses terbentuknya tindak kriminal baik dengan-cara langsung maupun tak langsung.
Untuk mencari faktor yg lebih esensial dr bentuk tindakan melawan hukum/ kejahatan yg dilakukan dengan-cara sempurna kedudukan ini mampu diartikan dgn faktor kejahatan yg timbul dengan-cara ekstern (aspek luar) maupun intern (faktor dalam) dr pelaku tindak pidana kejahatan seseorang. Secara implisit banyak sekali faktor dapat dijadikan selaku metode untuk merumuskan kejahatan pada lazimnya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dgn seseorang anak atau pun  dlm melaksanakan kejahatan, terlihat bahwa faktor-faktor apapun yg di dapat pada diri anak & remaja yg jelas seluruhnya tak terorganisir maupun disikapi apalagi dahulu.
Masyarakat yg baik di masa yg akan mendatang bergantung & diawali pada sikap bawah umur & remaja kini sebagai generasi penerus. Anak-anak  atau pun remaja yg baik dlm bertingkah sungguh menunjang terbentuknya sistem sosial penduduk . Oleh lantaran itu permasalahan sikap jahat belum dewasa & remaja  perlu segera mendapat tambahan perhatian demi terbentuknya tata cara sosial masyarakat yg baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan selaku berikut:
1.      Jenis-jenis kriminalitas yg dijalankan bawah umur, remaja, maupun dewasa
2.      Faktor-faktor yg menyebabkan sikap kriminalitas
3.      Dampak dr kriminalitas
4.      Solusi dr kriminaliatas
Bab II
Kriminalitas

A.  Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yg melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yg dianggap kriminal ialah seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu klasifikasi terakhir, teroris, agak berlainan dr kriminal lantaran melakukan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Arti aturan menurut Immanuel Kant sendiri yakni : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar suatu negara aturan: seseorang tetap tak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yg dinyatakan bersalah oleh pengadilan & mesti menjalani hukuman disebut selaku terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa persepsi mengenai perbuatan apakah yg mampu dikatakan selaku kejahatan :
-Secara kriminologi yg berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laris yg merugikan penduduk (dengan kata lain terdapat korban) & suatu pola tingkah laku yg memperoleh reaksi sosial dr masyarakat. Reaksi sosial tersebut mampu berupa reaksi formal, reaksi informal, & reaksi non-formal.
-Secara yuridis, kejahatan mempunyai arti segala suatu tindakan atau tingkah laku insan yg melanggar undang-undang atau ketentuan yg berlaku & diakui mampu dipidana dengan-cara legal,dan dikelola dlm aturan pidana.
-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap langkah-langkah atau perbuatan tertentu yg tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan selaku kejahatan. Ini mempunyai arti setiap kejahatan tak harus dirumuskan apalagi dahulu dlm suatu peraturan hukum pidana. Makara setiap perbuatan yg anti sosial,merugikan serta menyebalkan penduduk ,secara kriminologi mampu dibilang sebagai kejahatan
-Arti kejahatan dilihat dgn beling mata hukum, mungkin yaitu yg paling mudah dirumuskan dengan-cara tegas & konvensional. Menurut hokum kejahatan ialah perbuatan insan yg melanggar atau bertentangan dgn apa yg diputuskan dlm kaidah hokum; tegasnya perbuatan yg melanggar larangan yg ditetapkan dlm kaidah hokum,dan tak menyanggupi atau melawan perintah-perintah yg sudah ditetapakan dlm kaidah hokum yg berlaku dlm masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari sisi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dgn sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yg menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yg bermakna tingkah laku didefenisikan selaku jahat oleh manusia-insan yg tak mengkualifikasikan diri selaku penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu mampu dijalankan bahwa kejahatan ialah suatu konsepsi yg bersifat absurd. Abstrak dlm arti ia tak dapat diraba & tak mampu dilihat,kecuali kesannya saja.
I. Pengertian Penjahat & Jenis-jenisnya
Orang yg bagaimana yg dimaksudkan sebagai seorang penjahat? Di dlm pikiran umum,perkataan “penjahat” memiliki arti mereka yg dimusuhi masyarakat. Di dlm arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat yaitu sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yg demokratis bahkan eorang yg mengaku telah melakukan suatu kejahatan ataupun tak dipandang sebagai seorang penjahat sampai kejahatannya dibuktikan berdasarkan proses peradilan yg sudah ditetapkan.
Maka sesuai dgn itu, seorang penjaga penjara tak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau menerima sesorang yg tak pernah resmi dinyatakan bersalah & dieksekusi,dan para pejabat Negara tak akan mampu dengan-cara sungguh-sungguh menghilangkan hak-hak sipil pada orang-orang yg tak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para ahli kriminologi tak mampu dengan-cara sungguh-sungguh dapat dipertanggung jawabkan menetapkan selaku penjahat pada orang-orang yg bertingkah laris dengan-cara antisocial,tetapi tak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia dengan-cara tegas tak ditemui orang yg disebut penjahat; dlm peruses peradilan pidana,kita cuma mengenal dengan-cara resmi istilah-istilah tersangka,tertuduh,terdakwa & terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata seperti penjahat,durjana,bajingan hanya dlm kata sehari-hari yg tak mendasar pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis berdasarkan penggolongan para ahlinya yaitu sebagai berikut ;
1. Penjahat dr kecendrungan(bukan lantaran talenta).
2. Penjahat lantaran kekurangan(karena kekurangan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tak berbuat).
3. Penjahat lantaran hawa nafsu yg berlebihan ; & putus asa ; penjahat terdorong oleh harga diri atau kepercayaan.
Pembagian berdasarkan Seelig :
1. Penjahat lantaran segan melakukan pekerjaan .
2. Penjahat terhadap harta benda karena lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.
3. Penjahat lantaran nafsu menyarang.
4. Penjahat karena tak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yg masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat lantaran kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat adonan ( gabungan dr sifat-sifat yg terdapat pada butir 1 s/d 8 )
Pembagian menurut Capelli
1. Kejahtan lantaran factor-faktor psikopathologis, yg pelakunya berisikan
a) Orang-orang yg sakit jiwa.
b) Orang-orang yg berjiwa aneh (sekalipun tak sakit jiwa).
2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa & raganya,yang dikerjakan oleh :
a) Orang-orang yg menderita cacad setelah usia lanjut.
b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah semenjak masa kanak-kanak
sehingga sukar menyesuaikan diri di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan lantaran factor-aspek social yg pelakunya terdiri dr :
Penjahat kebiasaan.
a) Penjahat peluang,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.
b) Penjahat yg lantaran pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yg sifatnya kebetulan & kemudian berkembang melakukan kejahatan yg lebih besar & lebih sering.
c) Orang-orng yg turut serta pada kejahatan kelompok mirip, pencurian-pencurian di pabrik & lain sebagainya.
Bila kita amati klasifikasi jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dlm bahasa inggris Criminal , yg sementara kita alih bahaskan dgn penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yg dlm melakukan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yg memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang mampu dijalankan oleh perorangan mirip penjahat-penjahat bayaran, yg diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dijalankan dengan-cara kelompok & teratur seperti dlm bentuk kejahatan yg diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut mesti dijalankan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yakni penjahat yg melakukan kejahatan dgn ditimbang-timbang atau dgn antisipasi apalagi dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tak diberi kesempatan oleh masyarakat atau pekerjaan dlm masyarakat tak bias memberi hidup,sehingga menentukan menjadi resdidivisi.
II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesusahan untuk menjelaskan kriminalitas anak-anak maupun remaja dr perspektif teoritis dengan-cara ketat, oleh karena itu lebih cenderung untuk melihat kriminalitas belum dewasa maupun remaja selaku bentuk perilaku menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dr sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yg mampu menjelaskan fenomena ini yaitu: struktural fungsional khususnya anomie dr Durkheim & Merton, interaksi simbolik terutama asosiasi diferensiasi dr Sutherland, danpower-confl ict utamanya dr Young & Foucault.
(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan wajar & nilai-nilai yg dipaksakan oleh institusi dlm masyarakat. Penyimpangan dlm hal ini tak lah terjadi dengan-cara alamiah tetapi terjadi tatkala pemaksaan atas seperangkat aturan main tak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dgn demikian penyimpangan dengan-cara sederhana mampu dibilang selaku ketidaknormalan dengan-cara aturan, nilai, atau aturan. Salah satu teori utama yg mampu menjelaskan mengenai penyimpangan ini yakni teori anomie dr Durkheim & dr Merton.
Durkheim dengan-cara tegas menjajal meyakinkan bahwa terdapat relasi terbalik antara integrasi sosial & penaturan sosial dgn angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dr ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial & aturan sosial (social regulation) yg masing-masing independen, atau dalam3 perumpamaan lain, besaran integrasi tak menentukan besaran pengaturan, demikian pula sebaliknya, namun keduanya menghipnotis ikatan sosial. Integrasi sosial mampu diterjemahkan sebagai keikutsertaan seseorang dlm kelompok & institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma & nilai-nilai dlm masyarakat. Mereka yg sangat terintegrasi masuk dlm klasifikasi ‘altruism’, & yg sangat tak terinterasi dlm klasifikasi ‘egoism’. Demikian pula mereka yg sangat taat aturan masuk dlm kategori ‘fatalism’ & mereka yg sungguh tak taat masuk dlm klasifikasi ‘anomie’.
Teori anomie dr Durkheim dikembangkan oleh Merton selaku bentuk alienasi diri dr penduduk di mana diri tersebut membenturkan diri dgn norma-norma & kepentingan yg ada di penduduk . Dalam menerangkan hal ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) & ‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial & pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi penduduk sesuai dgn tujuan-tujuan kultural (apa yg dikehendaki oleh penduduk mengenai kehidupan ideal) & cara-cara yg mampu diterima di mana seorang individual mampu menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat adaptasi dgn lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, & ‘rebellion’.
(b) Interaksi Simbolik
Dalam pandangan interaksi simbolik, penyimpangan datang dr individu yg mempelajari sikap meyimpang dr orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut dapat mempelajari langsung dr penyimpang yang lain atau membenarkan perilakunya berdasarkan tindakan penyimpangan yg dilaksanakan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari langkah-langkah tersebut & perilaku menyimpang dr pihak lain, bukan berasal dr dirinya sendiri. Dalam perumpamaan lain, seorang tak lah menjadi kriminal dengan-cara alami.
Tindakan mempelajari langkah-langkah kriminal sama dgn aneka macam tindakan atau sikap lain yg dipelajari seseorang dr orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dr teorinya, mirip pandangan baru bahwa mencar ilmu datang dr adanya interaksi antara individu & kelompok dgn menggunakan komunikasi simbol-simbol & gagasan. Tatkala simbol & ide mengenai penyimpangan lebih disenangi, maka individu tersebut cenderung untuk melaksanakan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, tindakan kriminal, sebagaimana sikap yang lain, dipelajari oleh individu, & langkah-langkah ini dilakukan karena dianggap lebih mengasyikkan ketimbang sikap lainnya
(c) Power-Conflict
Satu hal yg mesti diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas persepsi Marx, tetapi Marx sendiri tak pernah menulis ihwal perilaku menyimpang. Teori ini menyaksikan adanya manifestasi power dlm suatu institusi yg menimbulkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut mempunyai kesanggupan untuk mengubah norma, status, kemakmuran & lain sebagainya yg kemudian berkonflik dgn individu. Meskipun Marx secara5
pribadi tak menulis mengenai perilaku menyimpang, namun Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) dengan-cara khusus menyatakan bahwa dunia terbaru mampu dibilang sangat toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap konflik sosial, walaupun demikian, dunia modern tak menginginkan adanya penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yg relevan
Melihat tiga teori yg ada, maka penulis cenderung untuk menentukan teori struktural-fungsional, terutama yg berasal dr Merton selaku teori yg mampu menjelaskan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membicarakan mengenai deviant yg merupakan bentuk lanjut dr adanya disintegrasi seorang individu dlm masayarakat.
Bagi Merton, hadirnya langkah-langkah menyimpang yg dikerjakan oleh individu adalah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dgn nilai normatif yg ada di masyarakat. Secara biasa dapat dibilang bahwa sikap menyimpang yakni bentuk anomie dlm masyarakat. Anomie terjadi dlm masyarakat tatkala ada keterputusan antara kekerabatan norma kultural & tujuan dgn kapasitas terorganisir dengan-cara sosial dr anggota kelompok untuk bertindak sesuai dgn norma kultural (lihat Ritzer & Goodman 2007).Secara lazim Merton menghubungkan antara kultur, struktur & anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yg terorganisir yg menentukan sikap bersama anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku panduan yg dipakai oleh semua anggota penduduk untuk bertingkah.
Struktur didefinisikan sebagai seperangkat relasi sosial yg terorganisir yg melibatkan seluruh anggota penduduk untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan selaku sebuah keterputusan kekerabatan antara struktur & kultur yg terjadi kalau ada suatu keretakan atau terputusnya korelasi antara norma kultural & tujuan-tujuan dgn kapasitas yg teratur dengan-cara sosial dr anggota dlm kelompok masyarakat untuk bertindak sesuai dgn nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dlm hal ini dilihat selaku ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dgn norma, tujuan & cara-cara yg diperbolehkan dlm penduduk . Dalam hal ini, integrasi yg dilaksanakan oleh individu tersebut tak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tak memiliki arti bahwa setiap orang mampu berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tak ada masyarakat yg terintegrasi dengan-cara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yg terjadi di penduduk tak lah sama baik dengan-cara mutu maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton melihat bahwa motif-motif dlm integrasi tak selalu membawa motif yg dikehendaki (intended motif), namun pula motif-motif yg tak dikehendaki (unintended motif). Adanya fungsi manifes & laten dlm integrasi mempunyai arti bahwa integrasi mengakibatkan adanya pihak yg mengalami disintegrasi, atau dlm bahasa yg lebih kasar, integrasi justru memiliki pengaruh besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini pastinya menenteng konsekuensi yg lebih besar: anomie yg terjadi di penduduk , yg berujung dengan7 terjadinya penyimpangan, adalah ‘imbas samping’ atau motif yg tak diinginkan (unintended motif) dr integrasi dlm masyarakat. Merton membedakan antara fungsi & disfungsi. Bagi Merton, fungsi yakni seluruh konsekuensi yg terlihat & berguna bagi adaptasi atau pengaturan dr tata cara yg sudah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yg terlihat yg menghemat penyesuaian atau pengaturan dlm satu tata cara (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi & disfungsi,  Merton pula membedakan antara fungsi manifes & fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan selaku seluruh konsekuensi obkektif yg besar lengan berkuasa pada pengaturan atau adaptasi dr suatu tata cara yg diinginkan & diakui oleh seluruh belahan sistem itu, sedangkan fungsi manifest yakni kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yg berpengaruh pada penaturan & penyesuaian dr satu tata cara yg tak dikehendaki & tak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, dapat dibilang bahwa perilaku menyimpang yg terjadi di kalangan remaja merupakan adanya pertentangan antara norma-norma yg berlaku di masyarakat dgn cara-cara & tujuan-tujuan yg dikerjakan oleh individu. Oleh karena itu, Merton membagi keadaan ini dlm lima kategori, yaitu:
1. ‘Conformity’ atau individu yg terintegrasi sarat dlm masyarakat baik yg tujuan & cara-caranya ‘benar dlm masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yg tujuannya benar, tetapi cara- cara yg dipergunakannya tak sesuai dgn yg dikehendaki dlm penduduk .
3. ‘Ritualism’ atau individu yg salah dengan-cara tujuan namun cara-cara yg dipergunakannya mampu dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yg salah dengan-cara tujuan & salah menurut cara-cara yg dipergunakan.
5.‘Rebellion’ atau individu yg meniadakan tujuan-tujuan & cara-cara yg diterima dgn menciptakan metode gres yg mendapatkan tujuan-tujuan & cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memperlihatkan pola yg sangat bagus dlm melihat perilaku menyimpang dlm masyarakat berupa tindak kriminal. Karena dibesarkan dlm lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika memberikan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika menunjukkan keleluasaan setiap warganya untuk memperoleh peluang & kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk merealisasikan cita-citanya.
Merton menyaksikan adanya kesenjangan antara apa yg diinginkan & diharapkan oleh penduduk atas anggotanya dgn apa yg sesungguhnya diraih oleh warga masyarakat. Jika struktur sosial ternyata tak sebanding dlm memperlihatkan peluang bagi setiap warga masyarakat & menghalangi sebagian besar dr mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dr mereka akan mengambil langkah yg tak sesuai dgn cara yg diharapkan, yakni dgn melakukan langkah-langkah kriminal untuk mewujudkan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yg mungkin diambil oleh mereka, terutama dgn menjadi subkultur penyimpang, mirip pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.
Seperti yg kita pahami saat ini.Kriminalitas ada di mana-mana.Tapi ada itu kriminalitas?Apa penyebabnya?Mungkin kita bias menyediakan waktu untuk bias membaca goresan pena ini agar kita tahu persoalan sosial yg ada di tengah-tengah masyarakat,kriminalitas.
Noach menyaksikan krimanalitas dr dua sisi, yaitu
i. Sisi Perbuatannya
Dilihat dr sisi perbuatannya, kriminalitas mampu dikelompokkan lagi ke dlm dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dijalankan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:
· Perbuatan dilakukan dgn cara si korban mengenali baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi problem apakah si korban sadar bahwa itu ialah suatu tindakan melawan hukum atau bukan. Misalnya dlm hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, & delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yg dijalankan sedemikian rupa sehingga si korban tak mengenali baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilaksanakan mirip penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, & peracunan
· Perbuatan dikerjakan dgn memakai sarana mirip bahan kimia, peralatan, & sebaginya atau tanpa fasilitas
· Perbuatan dikerjakan dgn menggunakan kekerasan atau dijalankan dgn “biasa”.
b. Benda aturan yg dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan biasa , & lain sebagainya.
ii.Sisi Pelakunya
Dilihat dr sisi pelakunya, mampu dibagi berdasarkan motif si pelaku, kenapa melakukan kejahatan, & dr sifat pelaku sendiri.
Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
i. Penjahat pembawaan (born criminal), yakni penjahat yg dilihat dr ciri-ciri tubuhnya
(stigmata) lantaran atavisme (degenerasi) kemudian menjadi jahat.
ii.Penjahat lantaran sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia, pellagra, & pemabuk
iii. Penjahat lantaran dorongan hati panas (passion) mirip membunuh istri tabungan suaminya
iv. Penjahat lantaran potensi yg dapat dibagi menjadi:
a. Penjahat bukan bahu-membahu (pseudo criminal) yaitu mereka yg melaksanakan tindak pidana karena keadaan yg sangat melukai hati dengan-cara luar biasa & mereka yg melaksanakan tindak pidana hanya lantaran langkah-langkah teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran kemudian lintas, dsb.
b. Penjahat lantaran kebiasaan, penjahat ini pada dikala lahir wajar , tetapi sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh lingkungan yg jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi tabiat yg menyimpang dr anggota penduduk normal.
v.Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan & penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yg gres pada kondisi kurang baik yg ringan-ringan saja sudah terlibat dlm tindak kriminal
Dalam klasifikasinya, Lombroso memakai tolok ukur psikis, fisik, & lingkungan
Garfalo, membuat klasifikasi selaku berikut:
i. Pembunuh
ii.Penjahat kasar
iii. Penjahat lantaran kurang kejujuran, dan
iv. Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat karena kebetulan, yakni mereka yg melakukan tindak kriminal lantaran culpa
ii.Penjahat lantaran pengaruh kondisi, yakni mereka yg karena pengaruh tiba-tiba dgn secepatnya berakibat ia melakukan kejahatan
iii. Penjahat karena peluang, yaitu mereka yg karena ada peluang terbuka dengan-cara kebetulan, kemudian melaksanakan tindak kriminal
iv. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yg berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
v. Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yg dengan-cara teratur melaksanakan kejahatan
vi. Penjahat professional, mereka yg dengan-cara teratur melaksanakan kejahatan dengan-cara aktif & sikap hidupnya memang diarahkan pada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat sesat,
Penjahat karena suasana tertentu, kebetulan, & karena imbas orang lain
ii. Penjahat kronis
· Penjahat lantaran penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa
· Penjahat sesat yg kronis yaitu mereka seringkali terlibat dlm suatu suasana, kronis, karena dampak orang lain.
· Penjahat neurotik, & mereka yg bertindak di bawah efek dorongan di dlm dirinya
· Penjahat dgn tabiat neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dr tingkah lakunya, maka penjahat dgn tabiat neurotis dilihat dr tabiat kepribadiannya
· Penjahat dgn pertumbuhan nurani yg kurang baik (superego)
Gruhle membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat lantaran kecenderungan (bukan talenta):
· Aktif: mereka yg mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
· Pasif: mereka yg tak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak kriminal, tetapi tak begitu kokoh berkehendak sebagai kelompok yg aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yg gampang untuk menangani kesulitan.
ii. Penjahat karena kelemahan
Mereka yg baik lantaran situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yg cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan lantaran tidak memiliki daya tahan dlm dirinya untuk tak berbuat jahat.
iii. Penjahat Karena hati panas
Mereka yg lantaran efek sesuatu tak mampu mengendalikan dirinya pula karena putus asa lalu berbuat jahat.
iv. Penjahat karena keyakinan
Mereka yg menilai normanya sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan norma yg berlaku di dlm masyarakat
Capeli membagi penjahat menurut aspek terjadinya kejahatan yakni:
i. Karena aspek psikopatologik:
· Orang-orang yg kurang waras, gila
· Orang yg dengan-cara psikis tak normal, tetapi tak gila
ii. Karena aspek organis:
· Orang-orang yg lantaran menderita gangguan fisik pada waktu telah akil balig cukup akal, mirip mereka yg menjadi tua, banyak sekali macam cacat
· Orang-orang yg menderita gangguan fisik semenjak masa kanak-kanak atau sejak lahir, & yg menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
iii. Karena faktor sosial:
· Penjahat kebiasaan
· Penjahat lantaran peluang (karena kondisi/desakan ekonomi atau fisik)
· Penjahat yg pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya dengan-cara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yg lebih serius
· Pengikut serta kejahatan kelompok, mirip pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dr tabiat si penjahat (disposisinya), atau lantaran peristiwa psikis ketika terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yg tunggal, & Seelig dgn tegas melihatnya bahwa dengan-cara biologis (dalam arti ciri tubuh & psikis) merupakan kelompok insan yg heterogen & tak terlihat mempunyai ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
i. Delinkuen professional lantaran malas melakukan pekerjaan
Mereka melaksanakan delik berulang-ulang, seperti orang melaksanakan pekerjaan dengan-cara wajar . Kemalasan kerjanya menonjol , cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur
ii. Delinkuen terhadap harta benda lantaran daya tahan lemah
Mereka biasanya melaksanakan pekerjaan wajar mirip orang kebanyakan. Namun di dlm kerjanya, tatkala melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yg lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai manajemen, dll
iii. Delinkuen karena dorongan agresi
Mereka sangat gampang menjadi berang & melakukan perbuatan kasar dgn ucapan maupun goresan pena. Biasanya mereka ini memperlihatkan kurangnya empati & perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka
iv. Delinkuen karena tak dapat menahan dorongan seksual
Mereka ini ialah yg tak tahan terhadap dorongan seksual & ingin memuaskan dorongan itu dgn segera, karena kurangnya daya tahan.
v. Delinkuen karena krisis
Mereka yg melihat bahwa tindak pidana yaitu sebagai jalan keluar dlm krisis. Krisis ini mencakup:
· Perubahan badani, pergeseran yg menjadikan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
· Kejadian luar yg tak menguntungkan, khususnya dlm lapangan ekonomi atau dlm lapangan percintaan
· Karena krisis diri sendiri.
vi. Delinkuen lantaran reaksi primitive
Mereka yg berupaya melepaskan tekanan jiwanya dgn cara yg tak disadari & seringkali berlawanan dgn kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dgn kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut mampu terjadi sesaat atau terbentuk bertahap & terakumulasi, & pelepasannya pada biasanya tak terduga
vii. Delinkuen lantaran kepercayaan
Seseorang melaksanakan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban & adanya kepercayaan bahwa merekalah yg paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dibilang delinkuen karena kepercayaan.
viii. Delinkuen karena tidak mempunyai disiplin kemasyarakatan
Mereka yg tak ingin mengindahkan hal-hal yg oleh pembuat undang-undang dikontrol guna melindungi kepentingan umum.
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pertimbangan yaitu:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena imbas yg terdapat di luar diri pelaku
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan balasan dr talenta jahat yg terdapat di dlm diri pelaku sendiri
c. Pendapat yg menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena dampak di luar pelaku maupun karena sifat atau talenta si pelaku.
Bagi Bonger, talenta merupakan hal yg konstan atau tetap, & lingkungan adalah aspek variabelnya & lantaran itu pula dapat disebutkan sebagai penyebabnya
Pandangan bahwa ada hubungan pribadi antara kondisi ekonomi dgn kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan stMasyarakat terbaru yg serba kompleks selaku produk kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi & urbanisasi memunculkan banyak problem sosial. Usaha pembiasaan atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tak gampang. Kesulitan mengadakan pembiasaan menimbulkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan & konflik, baik pertentangan eksternal yg terbuka, maupun yg internal dlm batin sendiri yg tersembunyi & tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah-laris menyimpang dr norma-norma lazim, dgn jalan berbuat semau sendiri demi laba sendiri & kepentingan pribadi, kemudian mengusik & merugikan pihak lain.
Dalam perkembangan masyarakat mirip ini, efek budaya di luar sistem penduduk sangat menghipnotis sikap anggota masyarakat itu sendiri, utamanya belum dewasa, lingkungan, khususnya lingkungan sosial, mempunyai peranan yg sungguh besar terhadap pembentukan perilaku anak-anak, termasuk sikap jahat yg dilaksanakan oleh bawah umur.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan atau perilaku jahat di masyarakat. Dari aneka macam mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar & mengetahui adanya kejahatan atau sikap jahat yg dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku sikap jahat di penduduk tak hanya dijalankan oleh anggota penduduk yg sudah dewasa, tetapi pula dikerjakan oleh anggota penduduk yg masih belum dewasa atau yg biasa kita sebut selaku kejahatan anak atau sikap jahat anak.
Fakta menunjukkan bahwa semua tipe kejahatan anak itu kian bertambah jumlahnya dgn makin lajunya perkembangan industrialisasi & urbanisasi. Kejahatan yg dilakukan oleh bawah umur pada pada dasarnya merupakan produk dr kondisi masyarakatnya dgn segala pergolakan sosial yg ada di dalamnya. Kejahatan anak ini disebut selaku salah satu penyakit penduduk atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat yakni segala bentuk tingkah laris yg di anggap tak sesuai, melanggar norma-norma biasa , budbahasa-istiadat, hukum formal , atau tak bisa diintegrasikan dlm pola tingkah laku umum.
Kejahatan dlm segala usia tergolong remaja & belum dewasa dlm dasawarsa kemudian, belum menjadi duduk perkara yg terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh pemerintah, andal kriminologi , penegak aturan, praktisi sosial maupun masyarakat biasanya.
Perilaku jahat bawah umur & remaja merupakan gejala sakit (patologis) dengan-cara sosial pada anak-anak yg disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah-laris yg menyimpang. Pengaruh sosial & kultural memainkan peranan yg besar dlm pembentukan atau pengkondisian tingkah-laku kriminal bawah umur & remaja. Perilaku belum dewasa  & remaja ini memperlihatkan tanda-tanda kurang atau tak adanya konformitas terhadap norma-norma sosial.
Anak-anak & remaja yg melakukan kejahatan itu pada lazimnya kurang memiliki kontrol-diri, atau justru menyalahgunakan kontrol-diri tersebut, & suka menegakkan standar tingkah-laris sendiri, di samping meremehkan eksistensi orang lain. Kejahatan yg mereka kerjakan itu pada lazimnya disertai unsur-unsur mental dgn motif-motif subyektif, yaitu untuk mencapai satu objek tertentu dgn disertai kekerasan. Pada lazimnya belum dewasa & remaja tersebut sangat egoistis, & suka sekali menyalahgunakan & melebih-lebihkan harga dirinya.
Adapun motif yg mendorong mereka melaksanakan tindak kejahatan itu antara lain yaitu :
1.Untuk membuat puas kecenderungan keserakahan.
2.Meningkatkan agresivitas & dorongan seksual.
3.Salah-asuh & salah-didik orang bau tanah, sehingga anak tersebut menjadi manja & lemah   mentalnya.
4.Hasrat untuk berkumpul dgn kawan senasib & sebaya, & kesukaan untuk menjiplak-niru.
5.Kecenderungan pembawaan yg patologis atau abnormal.
6.Konflik batin sendiri, & kemudian menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yg irrasional.
Pakar kriminologi Van S. Lambroso dgn teori Lambroso, yg menyebutkan karena-sebab kejahatan seorang hanya dapat didapatkan dlm bentuk-bentuk fisik & psikis serta ciri, sifat dr tubuh seseorang. Sebab-sebab kejahatan menjadi aspek utama dlm proses terbentuknya tindak kriminal baik dengan-cara langsung maupun tak langsung.
Untuk mencari faktor yg lebih esensial dr bentuk tindakan melawan hukum/ kejahatan yg dilakukan dengan-cara tepat kedudukan ini mampu diartikan dgn faktor kejahatan yg timbul dengan-cara ekstern (faktor luar) maupun intern (faktor dalam) dr pelaku tindakan melawan hukum kejahatan seseorang. Secara implisit aneka macam faktor dapat dijadikan sebagai tata cara untuk merumuskan kejahatan pada biasanya ataupun kejahatan anak pada khususnya. Berbeda dgn seseorang anak atau pun  dlm melakukan kejahatan, terlihat bahwa aspek-faktor apapun yg di mampu pada diri anak & remaja yg terang semuanya tak terorganisir maupun disikapi terlebih dulu.
Masyarakat yg baik di masa yg akan mendatang bergantung & diawali pada perilaku belum dewasa & remaja sekarang selaku generasi penerus. Anak-anak  atau pun remaja yg baik dlm bertingkah sungguh menunjang terbentuknya sistem sosial penduduk . Oleh lantaran itu permasalahan perilaku jahat belum dewasa & remaja  perlu secepatnya mendapat ekstra perhatian demi terbentuknya sistem sosial penduduk yg baik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan selaku berikut:
1.      Jenis-jenis kriminalitas yg dilaksanakan bawah umur, remaja, maupun dewasa
2.      Faktor-faktor yg menyebabkan perilaku kriminalitas
3.      Dampak dr kriminalitas
4.      Solusi dr kriminaliatas
Bab II
Kriminalitas
A.  Definisi Kriminalitas
Kriminalitas atau tindak kriminal segala sesuatu yg melanggar aturan atau suatu tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas disebut seorang kriminal. Biasanya yg dianggap kriminal yaitu seorang pencuri, pembunuh, perampok, atau teroris. Walaupun begitu kategori terakhir, teroris, agak berlawanan dr kriminal lantaran melaksanakan tindak kejahatannya berdasarkan motif politik atau paham.
Arti aturan menurut Immanuel Kant sendiri yakni : “noch suchen die yuristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. (L.j Van Apeldoorn,Pengantar Ilmu Hukum,Pradnya Paramita,Jakarta,1981,hlm.13)
Selama kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang terdakwa. Sebab ini merupakan asas dasar sebuah negara hukum: seseorang tetap tak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Pelaku tindak kriminal yg dinyatakan bersalah oleh pengadilan & harus menjalani hukuman disebut selaku terpidana atau narapidana.
Dalam mendefinisikan kejahatan, ada beberapa persepsi mengenai perbuatan apakah yg dapat dibilang selaku kejahatan :
-Secara kriminologi yg berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laris yg merugikan penduduk (dengan kata lain terdapat korban) & suatu pola tingkah laku yg mendapatkan reaksi sosial dr masyarakat. Reaksi sosial tersebut mampu berbentukreaksi formal, reaksi informal, & reaksi non-formal.
-Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu langkah-langkah atau tingkah laku manusia yg melanggar undang-undang atau ketentuan yg berlaku & diakui dapat dipidana dengan-cara legal,dan dikelola dlm hukum pidana.
-Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yg tindakan disetujui oleh penduduk diartikan sebagai kejahatan. Ini bermakna setiap kejahatan tak harus dirumuskan apalagi dahulu dlm suatu peraturan hukum pidana. Makara setiap perbuatan yg anti sosial,merugikan serta menjengkelkan penduduk ,secara kriminologi mampu dikatakan selaku kejahatan
-Arti kejahatan dilihat dgn kaca mata hukum, mungkin yaitu yg paling gampang dirumuskan dengan-cara tegas & konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yg melanggar atau bertentangan dgn apa yg ditentukan dlm kaidah hokum; tegasnya perbuatan yg melanggar larangan yg ditetapkan dlm kaidah hokum,dan tak menyanggupi atau melawan perintah-perintah yg telah ditetapakan dlm kaidah hokum yg berlaku dlm penduduk bersangkutan berdomisili.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari sisi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu dimengerti bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dgn sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis selaku berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yg menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yg bermakna tingkah laris didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yg tak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan yaitu suatu konsepsi yg bersifat abstrak. Abstrak dlm arti ia tak dapat diraba & tak mampu dilihat,kecuali akibatnya saja.
I. Pengertian Penjahat & Jenis-jenisnya
Orang yg bagaimana yg dimaksudkan selaku seorang penjahat? Di dlm fikiran biasa ,perkataan “penjahat” bermakna mereka yg dimusuhi penduduk . Di dlm arti inilah Trade menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat.
Berdasarkan tradisi hokum (peradilan) yg demokratis bahkan eorang yg mengaku sudah melaksanakan suatu kejahatan ataupun tak dipandang selaku seorang penjahat hingga kejahatannya dibuktikan menurut proses peradilan yg telah ditetapkan.
Maka sesuai dgn itu, seorang penjaga penjara tak akan dapat dibenarkan menurut hokum kalau mendapatkan sesorang yg tak pernah resmi dinyatakan bersalah & dihukum,dan para pejabat Negara tak akan dapat dengan-cara sungguh-sungguh menetralisir hak-hak sipil pada orang-orang yg tak pernah dinyatakan bersalah mengenai suatu kejahatan. Begitu pula halnya,para hebat kriminologi tak dapat dengan-cara sungguh-sungguh mampu dipertanggung jawabkan menetapkan selaku penjahat pada orang-orang yg bertingkah laku dengan-cara antisocial,tetapi tak melanggar suatu undang-undang pidana.(Ibid,hal 34,35).
Di Indonesia dengan-cara tegas tak ditemui orang yg disebut penjahat; dlm peruses peradilan pidana,kita cuma mengenal dengan-cara resmi perumpamaan-perumpamaan tersangka,tertuduh,terdakwa & terhukum atau terpidana. Sedangkan kata-kata mirip penjahat,berandal,bajingan hanya dlm kata sehari-hari yg tak fundamental pada ketentuan hokum.
Adapun tipe atau jenis-jenis menurut penggolongan para ahlinya yaitu selaku berikut ;
1. Penjahat dr kecendrungan(bukan karena bakat).
2. Penjahat lantaran kelemahan(karena kelemahan jiwa sehingga sulit menghindarkan diri untuk tak berbuat).
3. Penjahat lantaran hawa nafsu yg berlebihan ; & putus asa ; penjahat terdorong oleh harga diri atau kepercayaan.
Pembagian berdasarkan Seelig :
1. Penjahat lantaran segan melakukan pekerjaan .
2. Penjahat terhadap harta benda lantaran lemah kekuatan bathin untuk menekan godaan.
3. Penjahat lantaran nafsu menyarang.
4. Penjahat lantaran tak dapat menahan nafsu seks.
5. Penjahat karena mengalami krisis kehidupan
6. Penjahat terdorong oleh pikirannya yg masih primitive.
7. Penjahat terdorong oleh keyakinannya.
8. Penjahat karena kurang disiplin kemasyarakatan.
9. Penjahat adonan ( gabungan dr sifat-sifat yg terdapat pada butir 1 s/d 8 )
Pembagian menurut Capelli
1. Kejahtan lantaran factor-faktor psikopathologis, yg pelakunya terdiri dari
a) Orang-orang yg sakit jiwa.
b) Orang-orang yg berjiwa gila (sekalipun tak sakit jiwa).
2. Kejahatan karena factor-faktor cacad atau kemunduran kekuatan jiwa & raganya,yang dikerjakan oleh :
a) Orang-orang yg menderita cacad sesudah usia lanjut.
b) Orang-orang menderita cacad badaniah atau rohaniah sejak masa kanak-kanak
sehingga sukar mengikuti keadaan di tengah masyarakatnya.
3. Kejahatan lantaran factor-faktor social yg pelakunya terdiri dr :
Penjahat kebiasaan.
a) Penjahat potensi ,karena menderita kesulitan ekonomi atau kesusahan fisik.
b) Penjahat yg lantaran pertama kali pernah berbuat kejahatan kecil yg sifatnya kebetulan & kemudian berkembang melakukan kejahatan yg lebih besar & lebih sering.
c) Orang-orng yg turut serta pada kejahatan kelompok mirip, pencurian-pencurian di pabrik & lain sebagainya.
Bila kita perhatikan kategori jenis-jenis pelanggar hokum atau disebut dlm bahasa inggris Criminal , yg sementara kita alih bahaskan dgn penjahat ; maka terdapat diantarnya penjahat yg dlm melakukan kejahatannya dengan:
1. Kesadaran yg memang sudah merupakan pekerjaannya (professional criminal). Yang mampu dikerjakan oleh individual mirip penjahat-penjahat bayaran, yg diupah untuk menganiaya atau bahkan membunuh. Atau dilakukan dengan-cara kelompok & teratur mirip dlm bentuk kejahatan yg diorganisir (beda misalnya Donald R Cressey “Criminal Organization”,Heiniman Educational Books,London,1972)
2. Kesadaran bahwa tindakan tersebut mesti dijalankan sekalipun merupakan pelanggaran hokum ; yakni penjahat yg melakukan kejahatan dgn ditimbang-timbang atau dgn persiapan terlebih dahulu.
3. Kesadaran bahwa pelaku tak diberi peluang oleh masyarakat atau pekerjaan dlm penduduk tak bias memberi hidup,sehingga memilih menjadi resdidivisi.
II. Teori-Teori Terkait Kriminalitas
Terdapat kesusahan untuk menerangkan kriminalitas belum dewasa maupun remaja dr perspektif teoritis dengan-cara ketat, oleh karena itu lebih condong untuk menyaksikan kriminalitas bawah umur maupun remaja sebagai bentuk sikap menyimpang (deviant behavior) di masyarakat. Jika melihat dr sisi penyimpangan (deviant), maka setidaknya terdapat tiga teori utama yg dapat menerangkan fenomena ini yaitu: struktural fungsional utamanya anomie dr Durkheim & Merton, interaksi simbolik khususnya asosiasi diferensiasi dr Sutherland, danpower-confl ict khususnya dr Young & Foucault.
(a) Struktural Fungsional
Struktural fungsional melihat penyimpangan terjadi pembentukan wajar & nilai-nilai yg dipaksakan oleh institusi dlm penduduk . Penyimpangan dlm hal ini tak lah terjadi dengan-cara alamiah tetapi terjadi tatkala pemaksaan atas seperangkat aturan main tak sepenuhnya diterima oleh orang atau sekelompok orang, dgn demikian penyimpangan dengan-cara sederhana dapat dibilang sebagai ketidaknormalan dengan-cara aturan, nilai, atau hukum. Salah satu teori utama yg dapat menjelaskan mengenai penyimpangan ini adalah teori anomie dr Durkheim & dr Merton.
Durkheim dengan-cara tegas menjajal meyakinkan bahwa terdapat korelasi terbalik antara integrasi sosial & penaturan sosial dgn angka bunuh diri. Sekurangnya terdapat dua dimensi dr ikatan sosial (social bond), yakni integrasi sosial & aturan sosial (social regulation) yg masing-masing independen, atau dalam3 istilah lain, besaran integrasi tak menentukan besaran pengaturan, demikian pula sebaliknya, tetapi keduanya mempengaruhi ikatan sosial. Integrasi sosial mampu diterjemahkan selaku keikutsertaan seseorang dlm kelompok & institusi di mana aturan sosial merupakan pengikat kesetiaan terhadap norma & nilai-nilai dlm masyarakat. Mereka yg sungguh terintegrasi masuk dlm klasifikasi ‘altruism’, & yg sungguh tak terinterasi dlm kategori ‘egoism’. Demikian pula mereka yg sungguh taat aturan masuk dlm kategori ‘fatalism’ & mereka yg sungguh tak taat masuk dlm kategori ‘anomie’.
Teori anomie dr Durkheim dikembangkan oleh Merton selaku bentuk alienasi diri dr penduduk di mana diri tersebut membenturkan diri dgn norma-norma & kepentingan yg ada di masyarakat. Dalam menjelaskan hal ini, Merton memfokuskan pada dua variabel, yakni tujuan (goals) & ‘legitimate means’ ketimbang integrasi sosial & pengaturan sosial. Dua dimensi ini menentukan derajat adaptasi penduduk sesuai dgn tujuan-tujuan kultural (apa yg diharapkan oleh penduduk mengenai kehidupan ideal) & cara-cara yg mampu diterima di mana seorang individual mampu menuju tujuan-tujuan kultural. Merton sendiri membagi derajat penyesuaian dgn lima kombinasi, yakni ‘conformity’, ‘innovation’, ‘ritualism’, ‘retreatism’, & ‘rebellion’.
(b) Interaksi Simbolik
Dalam persepsi interaksi simbolik, penyimpangan tiba dr individu yg mempelajari sikap meyimpang dr orang lain.Dalam hal ini, individu tersebut mampu mempelajari langsung dr penyimpang yang lain atau membenarkan perilakunya berdasarkan langkah-langkah penyimpangan yg dilakukan oleh orang lain. Sutherland mengemukakan mengenai teori ‘differential association’, di mana Sutherland menyatakan bahwa seorang pelaku kriminal mempelajari langkah-langkah tersebut & perilaku menyimpang dr pihak lain, bukan berasal dr dirinya sendiri. Dalam istilah lain, seorang tak lah menjadi kriminal dengan-cara alami.
Tindakan mempelajari langkah-langkah kriminal sama dgn aneka macam tindakan atau perilaku lain yg dipelajari seseorang dr orang lain. Sutherland mengemukakan beberapa point utama dr teorinya, mirip inspirasi bahwa berguru datang dr adanya interaksi antara individu & kelompok dgn menggunakan komunikasi simbol-simbol & ide. Tatkala simbol & pemikiran mengenai penyimpangan lebih digemari, maka individu tersebut condong untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut. Dengan demikian, langkah-langkah kriminal, sebagaimana sikap lainnya, dipelajari oleh individu, & langkah-langkah ini dijalankan lantaran dianggap lebih mengasyikkan ketimbang sikap yang lain
(c) Power-Conflict
Satu hal yg mesti diperjelas, meskipun teori ini didasarkan atas pandangan Marx, tetapi Marx sendiri tak pernah menulis perihal sikap menyimpang. Teori ini melihat adanya manifestasi power dlm suatu institusi yg mengakibatkan terjadinya penyimpangan, di mana institusi tersebut memiliki kesanggupan untuk mengganti norma, status, kesejahteraan & lain sebagainya yg kemudian berkonflik dgn individu. Meskipun Marx secara5
pribadi tak menulis mengenai perilaku menyimpang, tetapi Marx menulis mengenai alienasi. Young (wikipedia t.t.b) dengan-cara khusus menyatakan bahwa dunia terbaru dapat dibilang sungguh toleran terhadap perbedaan namun sangat takut terhadap pertentangan sosial, meskipun demikian, dunia modern tak mengharapkan adanya penyimpang di antara mereka.
Kriminalitas Remaja: teori yg berhubungan
Melihat tiga teori yg ada, maka penulis cenderung untuk memilih teori struktural-fungsional, terutama yg berasal dr Merton selaku teori yg mampu menerangkan mengenai kenakalan remaja. Secara khusus Merton memang membicarakan mengenai deviant yg merupakan bentuk lanjut dr adanya disintegrasi seorang individu dlm masayarakat.
Bagi Merton, munculnya langkah-langkah menyimpang yg dilakukan oleh individu ialah ketidakmampuan individu tersebut untuk bertindak sesuai dgn nilai normatif yg ada di penduduk . Secara umum mampu dikatakan bahwa perilaku menyimpang ialah bentuk anomie dlm masyarakat. Anomie terjadi dlm penduduk tatkala ada keterputusan antara relasi norma kultural & tujuan dgn kapasitas terorganisir dengan-cara sosial dr anggota kelompok untuk bertindak sesuai dgn norma kultural (lihat Ritzer & Goodman 2007).Secara lazim Merton menghubungkan antara kultur, struktur & anomie. Kultur didefinikasikan sebagai seperangkan nilai normatif yg terorganisir yg menentukan perilaku bareng anggota masyarakat. Dalam hal ini, kultur menjadi buku tutorial yg dipakai oleh semua anggota penduduk untuk bertingkah.
Struktur didefinisikan selaku seperangkat relasi sosial yg terorganisir yg melibatkan seluruh anggota penduduk untuk terlibat di dalamnya. Sedangkan anomie didefinisikan selaku sebuah keterputusan kekerabatan antara struktur & kultur yg terjadi bila ada suatu keretakan atau terputusnya hubungan antara norma kultural & tujuan-tujuan dgn kapasitas yg terencana dengan-cara sosial dr anggota dlm kelompok penduduk untuk bertindak sesuai dgn nilai kultural tersebut (Merton, 1968: 216).
Perilaku menyimpang dlm hal ini dilihat selaku ketidakmampuan seorang individu untuk bertindak sesuai dgn norma, tujuan & cara-cara yg diperbolehkan dlm masyarakat. Dalam hal ini, integrasi yg dilakukan oleh individu tersebut tak lah bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tak memiliki arti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan bahwa tak ada masyarakat yg terintegrasi dengan-cara penuh, di mana Merton melihat bahwa integrasi yg terjadi di masyarakat tak lah sama baik dengan-cara mutu maupun kuantitas (Maliki 2003). Dalam analisa fungsionalnya, Merton menyaksikan bahwa motif-motif dlm integrasi tak selalu membawa motif yg diinginkan (intended motif), namun pula motif-motif yg tak diinginkan (unintended motif). Adanya fungsi manifes & laten dlm integrasi mempunyai arti bahwa integrasi menyebabkan adanya pihak yg mengalami disintegrasi, atau dlm bahasa yg lebih kasar, integrasi justru memiliki efek besar atas terjadinya disintegrasi.
Pandangan ini tentu saja menenteng konsekuensi yg lebih besar: anomie yg terjadi di masyarakat, yg berujung dengan7 terjadinya penyimpangan, yaitu ‘imbas samping’ atau motif yg tak diinginkan (unintended motif) dr integrasi dlm masyarakat. Merton membedakan antara fungsi & disfungsi. Bagi Merton, fungsi adalah seluruh konsekuensi yg terlihat & berkhasiat bagi adaptasi atau pengaturan dr tata cara yg sudah ada,sedangkan disfungsi merupakan konsekuensi yg terlihat yg menghemat pembiasaan atau pengaturan dlm satu sistem (Merton, 1968:105). Selain membedakan antara fungsi & disfungsi,  Merton pula membedakan antara fungsi manifes & fungsi laten. Fungsi manifest didefinisikan sebagai seluruh konsekuensi obkektif yg kuat pada pengaturan atau penyesuaian dr suatu sistem yg diinginkan & diakui oleh seluruh cuilan metode itu, sedangkan fungsi manifest ialah kebalikannya, yakni konsekuensi objektif yg besar lengan berkuasa pada penaturan & penyesuaian dr satu sistem yg tak diharapkan & tak akui (Merton, 1968:105)
Secara sederhana, mampu dikatakan bahwa perilaku menyimpang yg terjadi di golongan remaja merupakan adanya konflik antara norma-norma yg berlaku di penduduk dgn cara-cara & tujuan-tujuan yg dijalankan oleh individu. Oleh lantaran itu, Merton membagi kondisi ini dlm lima kategori, yakni:
1. ‘Conformity’ atau individu yg terintegrasi penuh dlm masyarakat baik yg tujuan & cara-caranya ‘benar dlm masyarakat’
2. ‘Innovation’ atau individu yg tujuannya benar, namun cara- cara yg dipergunakannya tak sesuai dgn yg diharapkan dlm penduduk .
3. ‘Ritualism’ atau individu yg salah dengan-cara tujuan tetapi cara-cara yg dipergunakannya mampu dibenarkan.
4. ‘Retreatism’ atau individu yg salah dengan-cara tujuan & salah menurut cara-cara yg dipergunakan.
5.‘Rebellion’ atau individu yg meniadakan tujuan-tujuan & cara-cara yg diterima dgn menciptakan metode baru yg mendapatkan tujuan-tujuan & cara-cara baru.
Dalam hal ini Merton memperlihatkan teladan yg sangat baik dlm melihat sikap menyimpang dlm masyarakat berbentuktindak kriminal. Karena dibesarkan dlm lingkungan Amerika, Merton dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Menurut Merton, Amerika menawarkan setiap warganya ‘the American Dream’, di mana Amerika memperlihatkan kebebasan setiap warganya untuk memperoleh peluang & kesejahteraan, di mana hal ini menjadi motivasi kultural setiap orang Amerika, yakni untuk merealisasikan cita-citanya.
Merton melihat adanya kesenjangan antara apa yg diharapkan & diperlukan oleh masyarakat atas anggotanya dgn apa yg sesungguhnya diraih oleh warga penduduk . Jika struktur sosial ternyata tak sepadan dlm memberikan peluang bagi setiap warga penduduk & menangkal sebagian besar dr mereka untuk mencapai mimpi mereka, maka sebagian dr mereka akan mengambil langkah yg tak sesuai dgn cara yg diinginkan, yakni dgn melaksanakan tindakan kriminal untuk merealisasikan ‘mimpi’ tersebut (lihat Merton 1968). Merton mencontohkan beberapa tindakan yg mungkin diambil oleh mereka, khususnya dgn menjadi subkultur penyimpang, mirip pengguna obat-obatan, anggota gang, atau pemabuk berat.
Seperti yg kita ketahui ketika ini.Kriminalitas ada di mana-mana.Tapi ada itu kriminalitas?Apa penyebabnya?Mungkin kita bias menyediakan waktu untuk bias membaca tulisan ini agar kita tahu dilema sosial yg ada di tengah-tengah penduduk ,kriminalitas.
Noach melihat krimanalitas dr dua sisi, yakni
i. Sisi Perbuatannya
Dilihat dr sisi perbuatannya, kriminalitas mampu dikelompokkan lagi ke dlm dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dijalankan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:
· Perbuatan dilaksanakan dgn cara si korban mengenali baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dlm hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, & delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yg dikerjakan sedemikian rupa sehingga si korban tak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada dikala perbuatan itu dilakukan mirip penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, & peracunan
· Perbuatan dilakukan dgn menggunakan sarana mirip bahan kimia, perlengkapan, & sebaginya atau tanpa sarana
· Perbuatan dilakukan dgn memakai kekerasan atau dilakukan dgn “biasa”.
b. Benda aturan yg dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan lazim, & lain sebagainya.
ii.Sisi Pelakunya
Dilihat dr sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, kenapa melakukan kejahatan, & dr sifat pelaku sendiri.
Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
i. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yg dilihat dr ciri-ciri tubuhnya
(stigmata) karena atavisme (degenerasi) kemudian menjadi jahat.
ii.Penjahat lantaran sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia, pellagra, & pemabuk
iii. Penjahat lantaran dorongan hati panas (passion) mirip membunuh istri simpanan suaminya
iv. Penjahat lantaran potensi yg mampu dibagi menjadi:
a. Penjahat bukan sesungguhnya (pseudo criminal) yakni mereka yg melaksanakan tindak pidana karena keadaan yg sungguh melukai hati dengan-cara luar biasa & mereka yg melaksanakan tindak kriminal hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran kemudian lintas, dsb.
b. Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir wajar , namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada efek lingkungan yg jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yg menyimpang dr anggota masyarakat wajar .
v.Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan & penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yg baru pada keadaan kurang baik yg ringan-ringan saja sudah terlibat dlm tindakan melawan hukum
Dalam klasifikasinya, Lombroso memakai persyaratan psikis, fisik, & lingkungan
Garfalo, membuat penjabaran sebagai berikut:
i. Pembunuh
ii.Penjahat garang
iii. Penjahat karena kurang kejujuran, dan
iv. Penjahat lantaran dorongan hati panas atau karena ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat lantaran kebetulan, yaitu mereka yg melakukan tindak kriminal karena culpa
ii.Penjahat lantaran pengaruh kondisi, yakni mereka yg karena imbas tiba-tiba dgn secepatnya berakibat ia melaksanakan kejahatan
iii. Penjahat karena peluang, yaitu mereka yg lantaran ada peluang terbuka dengan-cara kebetulan, kemudian melaksanakan tindakan melawan hukum
iv. Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yg berulang-ulang melaksanakan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
v. Penjahat lantaran kebiasaan, yaitu mereka yg dengan-cara teratur melakukan kejahatan
vi. Penjahat professional, mereka yg dengan-cara teratur melaksanakan kejahatan dengan-cara aktif & sikap hidupnya memang diarahkan pada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat sesat,
Penjahat lantaran situasi tertentu, kebetulan, & karena dampak orang lain
ii. Penjahat kronis
· Penjahat lantaran penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa
· Penjahat sesat yg kronis yakni mereka sering kali terlibat dlm suatu situasi, kronis, lantaran pengaruh orang lain.
· Penjahat neurotik, & mereka yg bertindak di bawah efek dorongan di dlm dirinya
· Penjahat dgn watak neurotis, bila penjahat neurotik banyak dilihat dr tingkah lakunya, maka penjahat dgn tabiat neurotis dilihat dr tabiat kepribadiannya
· Penjahat dgn pertumbuhan nurani yg kurang baik (superego)
Gruhle membagi penjahat menjadi:
i. Penjahat lantaran kecenderungan (bukan talenta):
· Aktif: mereka yg mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
· Pasif: mereka yg tak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tak begitu kuat berkehendak selaku kelompok yg aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yg mudah untuk mengatasi kesulitan.
ii. Penjahat lantaran kelemahan
Mereka yg baik karena suasana sulit, kondisi darurat maupun keadaan yg cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan lantaran tak memiliki daya tahan dlm dirinya untuk tak berbuat jahat.
iii. Penjahat Karena hati panas
Mereka yg karena dampak sesuatu tak mampu mengendalikan dirinya pula lantaran frustasi lalu berbuat jahat.
iv. Penjahat karena keyakinan
Mereka yg menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yg berlaku di dlm masyarakat
Capeli membagi penjahat berdasarkan aspek terjadinya kejahatan yakni:
i. Karena aspek psikopatologik:
· Orang-orang yg kurang waras, gila
· Orang yg dengan-cara psikis tak normal, tetapi tak gila
ii. Karena aspek organis:
· Orang-orang yg lantaran menderita gangguan fisik pada waktu sudah akil balig cukup akal, mirip mereka yg menjadi renta, berbagai macam cacat
· Orang-orang yg menderita gangguan fisik semenjak masa kanak-kanak atau sejak lahir, & yg menderita kesusahan pendidikan atau sosialisasi.
iii. Karena aspek sosial:
· Penjahat kebiasaan
· Penjahat lantaran kesempatan (lantaran kondisi/desakan ekonomi atau fisik)
· Penjahat yg pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali cuma dengan-cara kebetulan saja, berikutnya meningkat ke arah kejahatan yg lebih serius
· Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig beropini bahwa kejahatan atau delik mungkin selaku balasan dr tabiat si penjahat (disposisinya), atau lantaran insiden psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yg tunggal, & Seelig dgn tegas melihatnya bahwa dengan-cara biologis (dalam arti ciri tubuh & psikis) merupakan kelompok manusia yg heterogen & tak terlihat memiliki ciri-ciri biologis. Dari persepsi itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
i. Delinkuen professional lantaran malas melakukan pekerjaan
Mereka melaksanakan delik berulang-ulang, mirip orang melaksanakan pekerjaan dengan-cara wajar . Kemalasan kerjanya menonjol , cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur
ii. Delinkuen terhadap harta benda lantaran daya tahan lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan wajar mirip orang pada umumnya. Namun di dlm kerjanya, tatkala menyaksikan ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yg lemah, mereka melaksanakan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
iii. Delinkuen lantaran dorongan agresi
Mereka sungguh gampang menjadi berang & melaksanakan perbuatan berangasan dgn ucapan maupun goresan pena. Biasanya mereka ini menunjukkan kurangnya empati & perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka
iv. Delinkuen lantaran tak mampu menahan dorongan seksual
Mereka ini yakni yg tak tahan terhadap dorongan seksual & ingin memuaskan dorongan itu dgn secepatnya, lantaran kurangnya daya tahan.
v. Delinkuen karena krisis
Mereka yg menyaksikan bahwa tindak kriminal ialah selaku jalan keluar dlm krisis. Krisis ini meliputi:
· Perubahan badani, pergeseran yg mengakibatkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
· Kejadian luar yg tak menguntungkan, khususnya dlm lapangan ekonomi atau dlm lapangan percintaan
· Karena krisis diri sendiri.
vi. Delinkuen lantaran reaksi primitive
Mereka yg berusaha melepaskan tekanan jiwanya dgn cara yg tak disadari & seringkali berlawanan dgn kepentingan dirinya sendiri atau berlawanan dgn kepentingan aturan pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau terbentuk bertahap & terakumulasi, & pelepasannya pada umumnya tak terduga
vii. Delinkuen lantaran keyakinan
Seseorang melakukan tindak kriminal karena merasa ada kewajjiban & adanya keyakinan bahwa merekalah yg paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi ketimbang norma kelompok lain. Hanya bila evaluasi normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen lantaran kepercayaan.
viii. Delinkuen karena tak memiliki disiplin kemasyarakatan
Mereka yg tidak ingin mengindahkan hal-hal yg oleh pembuat undang-undang dikontrol guna melindungi kepentingan biasa .
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok usulan yakni:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan lantaran dampak yg terdapat di luar diri pelaku
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dr talenta jahat yg terdapat di dlm diri pelaku sendiri
c. Pendapat yg memadukan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik lantaran pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yg konstan atau tetap, & lingkungan ialah faktor variabelnya & lantaran itu pula dapat disebutkan sebagai penyebabnya
Pandangan bahwa ada kekerabatan pribadi antara keadaan ekonomi dgn kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dlm observasi. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku mampu pula berupa tingkat gaji & upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan pula agama. Banyak penelitian yg sudah dialakukan untuk mengenali dampak yg terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindak kriminal. Biasanya penelitian dijalankan dgn cara statistic yg disebut dgn ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul selaku balasan talenta si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas yakni akibat dr bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dr talenta. Para penulis Jerman menyampaikan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yg dikenal dgn ajaran Italia, menyatakan semenjak lahir penjahat sudah berbeda dgn manusia lainnya, khususnya jika dilihat dr ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian timbul pertimbangan bahwa kriminalitas itu merupakan akhir dr talenta psikis atau talenta psikis & talenta ragawi.
Untuk menemukan bukti imbas pembawaan dlm kriminalitas, banyak sekali macam observasi sudah dilaksanakan dgn berbagai macam metode. Metode yg menawan antara lain:
a. Criminal family, penyelidikan dilaksanakan terhadap keluarga penjahat dengan-cara vertical dr satu keturunan ke keturunan yg lain
b. Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat dengan-cara horizontal untuk mendapatkan data ihwal faktor pembawaan sebagai keseluruhan
c. Study of twins, pengusutan terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat kriminal, & bilamana orang itu dlm lingkungan yg cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan terlibat dlm kriminalitas. Hubungan antara imbas pembawaan & lingkungan pada etiologi kriminal yg dikaitkan dgn penyakit-penyakit mental dgn diagram sebagai berikut
Lindesmith & Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai balasan dr faktor kepribadian tetapi pula mampu 100 persen selaku akibat faktor sosial, tetapi yg paling banyak ialah selaku gabungan aspek pribadi & aspek sosial yg bersama-sama berjumlah 100 persen.
Seelig membagi korelasi talenta-lingkungan-kejahatan selaku berikut:
a. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dgn imbas lingkungan yg cukupan saja sudah melaksanakan deik
b. Lebih banyak orang yg lantaran bakatnya, dgn imbas lingkungan yg kuat, melakukan delik
c. Sangat sedikit orang lantaran pengaruh dr luar yg cukupan saja, melaksanakan delik
d. Sebagian besar orang lebih dr 50 persen, dgn bakatnya, walaupun berada di dlm lingkungan yg kurang baik & cukup kuat, tak ,menjadi kriminal.
Sauer beropini bahwa pertentangan talenta-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, & bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku menurut bakat sebagai sumber biologis & sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dr luar yg berasal dr alam maupun penduduk , & baik itu merupakan syarat ataupun merupakan tanda-tanda yg mengiringinya, pelaku itu melaksanakan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach menyampaikan kriminalitas yg terjadi pada orang normal merupakan akibat dr bakat & lingkungan, yg pada suatu tatkala cuma salah satu faktor saja, pada waktu yg lain aspek yg lainnya & yg kedua-duanya mungkin saling kuat.
Sutherland memulai penjelasannya tentang teori sosiologis dgn memperlihatkan dua mekanisme yg penting yg perlu diamati dlm menyebarkan teori karena musabab sikap kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya memperlihatkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berhubungan dgn patologi sosial & patologi pribadi. Dan yg kedua diferensiasi tingkat analisis yg artinya dlm menganalisis penyebab kejahatan haruslah dikenali pada tingkat tertentu yg mana.
Untuk menerangkan perilaku kriminal dengan-cara ilmiah dapat dikerjakan dlm relasi dgn :
a. Proses yg terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b. Proses yg terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)
Proses seseorang terlibat dlm perilaku kriminal yaitu sebagai berikut:
a. Perilaku kriminal itu dipelajari
b. Perilaku kriminal dipelajari dlm interaksi dgn orang lain di dlm proses komunikasi
c. Inti dr mempelajari sikap kriminal terjadi di dlm kelompok pribadi yg intim
d. Dalam mempelajari sikap kriminal, yg dipelajari mencakup:
· Teknik melaksanakan kejahatan
· Arah khusus dr motif, dorongan, rasionalisasi, & sikap.
e. Arah masalah dr motif & dorongan dipelajari dr batasan-batasan aturan
Seseorang menjadi delinkuen lantaran sikap yg cenderung untuk melanggar hukum melampaui sikap yg merasa tak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a. Seorang individu mendapat imbas cuma dr satu macam kelompok;
b. Seorang individu mendapat imbas dr dua kelompok atau
c. Differential association mungkin beraneka ragam dlm hal frequensi, lamanya, prioritasnya, & intensitasnya
d. Proses berguru sikap kriminal melalui perkumpulan dgn pola kriminal & anti-kriminal semua mekanisme atau cara mencar ilmu pada hal-hal yg lain
e. Perilaku merupakan ungkapan keperluan & nilai, tetapi hal ini tak dipakai untuk argumentasi, lantaran perilaku non-kriminal pun pula merupakan ungkapan keperluan & nilai.
Mengenai dampak individu & kelompok, bila meninjau kemungkinanlebih.
THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dr tatanan budaya yg berbeda mungkin terjadi lantaran:
a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yg berbatasan;
b. Dalam hal norma hkum, hukum dr suatu kelompok tertentu meluas & menguasai wilayah kelompok budaya yg lain;
c. Anggota dr kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yg lain.
kecenderungan dlm teori sosiologi untuk memperlihatkan nama kepadastruktur sosial yg berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis insan yg tak dibatasi oleh kendali sosial. Sikap koformis implikasinya adalah selaku akibat dr pemikiran & perkiraan akan keperluan atau lantaran alasan yg tak dimengerti. Tokohnya yakni MERTON yg mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dlm penduduk & bersifat non-konformis & bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial & struktur sosial terdapat dua hal yg penting, yakni: Pertama, yaitu tujuan, maksud & kepentingan budaya yg telah bareng -sama ditentukan. Hal ini mencakup aspirasi budaya, yg oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengendalikan & mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” & “cara” sangatlah perlu di dlm struktur sosial, alasannya tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah pada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dlm struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dlm bidang ekonomi yg sudah melembaga dlm penduduk dgn peluang yg diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya.
Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
a. Aspek pertentangan kebudayaan (Culture conflict) yg terdapat dlm tata cara sosial
b. Aspek disorganisasi sosial
c. Aspek ketiadaan norma
d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yg terdapat di dlm kebudayaan induk (mayoritas culture)
C. Hubungan Kriminalitas dgn Berbagai Gejala
a. Kriminalitas & Jenis Kelamin
Angka statistik memperlihatkan bahwa jumlah wanita yg dijatuhi pidana lebih rendah dibandingkan dengan pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik dengan-cara umum. Namun bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik perbandingan pelaku delik wanita dgn pria akan bertambah takaran bagi wanitanya. Misalnya saja dlm delik abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini & dapat dikelompokkan dlm tiga kategori antara lain:
· Sebenarnya kriminalitas yg dikerjakan oleh wanita jauh lebih tinggi dr angka yg ada
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yg tak dicatat lantaran sesuatu hal. Contohnya dlm masalah abortus, masalah ini kebanyakan akan ditutup-tutupi & disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum laki-laki cenderung mempunyai sifat gentleman yakni berupaya melindungi perempuan. Tatkala terdapat perempuan yg melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.
· Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dr sisi kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi pria
Faktor lingkungan lebih menguntungkan perempuan karena
Ø Perkawinan bagi wanita merupakan aspek anti irininogen, angka statistic menunjukkan bahwa angka kriminalitas tertinggi oleh perempuan dilakukan oleh perempuan yg bercerai
Ø Jika dibandingkan dgn pria, partisipasi perempuan lebih sedikit dlm aktivitas penduduk sehingga mampu mengurangi konflik yg mampu mengarah pada kriminalitas.
· Sifat wanita sendiri membawa dampak rendahnya kriminalitas
Ø Faktor fisik wanita yg lemah kurang cocok untuk delik-delik aksi
Ø Faktor psikis wanita mempunyai variasi yg lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun jelek jarang terjadi pada perempuan
b. Kriminalitas & Cacat Tubuh
Cacat tubuh dibedakan antara yg diderita semenjak kelahirannya & yg diperoleh dlm perjalanan hidupnya. Cacat tubuh yg memungkinkan menjadi aspek kriminogen antara lain:
· Wajah
· Tuli
· Buta
c. Keluarga & Hubungan Keluarga
Pengaruh keluarga muncul pada:
· Situasi Keluarga
Pada keluarga yg acak-acakan & pecah, berpeluang untuk menyebabkan kejahatan
· Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, semakin tinggi beban ekonominya. Anak kurang memperoleh perhatian dr orang tua, kenakalan tak diamati orang bau tanah, Kemungkinan pertentangan dgn lingkungan lebih besar
· Anak tunggal
Ø Anak tunggal pada umumnya dimanjakan & diperlakukanover protective
Ø Tidak adanya kerabat menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri selaku anggota suatu kelompok
d. Kriminalitas & Umur
Di masa anak-anak, statistic kriminalitas tak mampu disertai dgn tegas, karena banyak kejahatan yg dikerjakan oleh anak tak dipidana namun cuma diberitahukan pada orang tua. Jenisnya bisanya berupa pencurian sederhana, perusakan barang, atau pencurian karena disuruh oleh orang lain
Masa remaja adalah masa peralihan dr bawah umur menuju dewasa. Di masa ini frekensi kejahatan tinggi terjadi konflik antara harapan & kenyataan. Macam kejahatannya mampu berawal dr pencurian biasa hingga dgn pencurian dgn kekerasan
Awal masa dewasa yakni lanjutan dr masa remaja. Frekuensi kriminalitas masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah jika dibandingkan pada masa remaja.Macam kriminalitas berbentukpencurian yg lebih canggih, penggelapan, & seksualitas
Pada Masa Dewasa Penuh kejahatan yg dilakukan cenderung pada yg lebih menggunakan nalar & anggapan dr pada kekuatan fisik. Frekuensinya menurun tetapi kualitasnya meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada kekayaan seperti penggelapan, pemalsuan, & penipuan.
Pada masa usia lanjut, kekuatan fisik maupun psikis sudah mulai menurun. Produktivitas pula menurun. Karena penghasilan menurun, dorongan untuk melaksanakan delik terhadap kekayaan ada kecenderungan meningkatnamun dgn cara anak-anak.
e. Residivis
Kebanyakan resedivis melakukan kejahatan pada waktu masih muda. Lebih dr 50% residivis pernah melaksanakan kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yg gres mulai menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan melakukan residivis lebih kecil karena waktu untuk melakukan residivis relative pendek, pola tabiat pada masa dewasa telah mantap, kriminalitas yg dilaksanakan & dimengerti orang tak jarang cuma merupakan duduk perkara kondisi yg kebetulan & bukannya kondisi yg berulang.
f. Keadaan Ekonomi, Lapangan Kerja, & Rekreasi
Kemelaratan miningkatkan kejahatan. Bahkan kemelaratanlah yg menyebabkan kejahatan. Kemunduran kemakmuran baik dengan-cara individu maupun pada kelompok dapat meningkatkan tingkat kriminalitas.
Kemelaratan bahu-membahu bukanlah satu-satunya faktor yg menimbulkan konflik & faktor kriminogen. Tatkala suatu masyarakat terisolasi yg penghidupannya berdasarkan penduduk lain dianggap rendah, akan dapat tetap hidup tenang kalau norma dlm masyarakat tersebut tak berganti & tak ada kesenjangan diantara mereka. Jurang perbedaan dlm hal kondisi ekonomi mampu menjadi faktor kriminogen.
Yang menjadi perhatian kriminologi dlm lapangan pekerjaan antara lain seperti faktor pemilihan lapangan kerja yg biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, norma di lapangan kerja terutama dlm pekerjaan yg pekerjanya saling berafiliasi dlm waktu yg lama mampu menyebabkan suatu norma kerja sendiri. Jika norma lapangan kerja menyimpang, misalnya di sebua pabrik sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya, padahal di pabrik yg lain tidak, hal tersebut akan menjadi kebiasaan, & kesempatan yg terdapat dlm lapangan pekerjaan yg mampu berupa ketrampilan yg dipakai untuk kejahatan & lingkungan lapangan pekerjaan yg mendukung seseorang untuk melakukan tindakan melawan hukum.
Rekreasi mampu menjadi faktor kriminogen & anti-kriminogen. Melalui wisata akan diperoleh rasa puas & lepas dr ketegangan. Perasaan yg demikian akan meminimalkan kriminalitas. Sedangkan di sisi yg lain rekreasi merupakan pengeluaran. Bisa jadi pendapatan tak dapat mengejar wisata yg dikehendaki. Bentuk wisata dapat pula mengarah pada kriminalitas mirip berburu, & permainan ketrampilan yg mengarah pada perjudian.
D. Kriminalitas selaku Profesi & Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional & yg sebagai kebiasaan berdasarkan Noach adalah: “Penjahat professional memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali melaksanakan kejahatan pula mempunyai pekerjaan lain. Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dr kejahatan atau pekerjaan yg lain yg halal bukan dilema”
Sutherland memperlihatkan sifat-sifat khusus dr penjahat professional antara lain selaku berikut: “Secara teratur tiap hari menyiapkan & melakukan kejahatan. Untuk itu, penjahat tersebut membutuhkan kemampuan teknik guna melaksanakan kejahatannya & melatih diri serta membuatkan kemampuannya itu.
Pencuri professional dapat melakukan kejahatannya dgn aman lantaran tiga hal yakni:
a. Memilih cara yg paling minimum bahayanya
b. Pencuri meningkatkan ketrampilan & kemampuannya baik dengan-cara fisik maupun psikisnya
c. Dengan cara mengontrol “fix” (pemulihan) sekiranya ia tertangkap, teknik pemulihan itu pula sedemikian rupa, baik dilaksanakan oleh si pencuri sendiri maupun oleh orang lain, & tak jarang polisi, jaksa, bahkan hakim dilibatkan.
Selain kejahatan dengan-cara lazim, ada pula kejahatan yg terorganisasi (organized crime). Organisasi kecil-kecilan seperti di kalangan pencopet membuat normanya sendiri, dgn sanksinya yg cukup tegas & kadang tempat operasinyapun telah dibagi. Organisasi tersebut disebut dgn organisasi informal
Terdapat pula organisasi penjahat yg bersifat lebih formal. Cirinya adalah yg pertama adanya pembagian pekerjaan, yaitu semacam keutamaan tertentu yg berada dlm jaringan tata cara, kedua bahwa kegiatan masing-masing di dlm sistem tersebut dikoordinasikan dgn aktivitas lain melalui aturan permainan, persetujuan & saling pemahaman, & yg ketiga, seluruh aktivitas tersebut dengan-cara rasional diarahkan pada suatu tujuan yg sama-sama dimengerti oleh para anggotanya.
Prostitusu pula mampu dikategorikan ke dlm kejahatan professional walaupun kata kejahatan kurang tepat bila disematkan pada prostitusi karena jikalau dilihat dlm KUHP tak ada pasal yg mengancam prostitusi kecuali perbuatan yg memudahkan prostitusi.
Menurut Norwood East pemahaman prostitusi yakni kekerabatan seksual yg tanpa pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak menggeluti dlm dunia prostitusi yakni kaum wanita walaupun tak menutup kemungkinan pula prostitusi dilaksanakan oleh kaum lelaki. Menurut Glover wanita yg cenderung untuk melakukan langkah-langkah prostitusi yaitu mereka yg mengalami gangguan psikologis maupun seksual, & merupakan akibat dr kurangnya kasih sayang & perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi perempuan untuk menggeluti dlm dunia prostitusi utamanya yaitu kebutuhan ekonomi & keinginan untuk mendapatkan keperluan lainnya disamping kebutuhan primer sehari-hari. Tidak jarang mereka yg terjun dlm lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yg sudah apalagi dahulu berada di dlm dunia prostitusi.
Sekian goresan pena saya tentang sosial kriminalitas.Semoga kita mampu memahami & melihat sisi-sisi positif yg terkandung di dalamnya & menerapkan nya dlm kehidupan bermasyarakat.Dan mudah-mudahan goresan pena ini bias berfaedah bagi kita semua.atistik dlm observasi. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji & upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan pula agama. Banyak penelitian yg sudah dialakukan untuk mengetahui dampak yg terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindakan melawan hukum. Biasanya observasi dijalankan dgn cara statistic yg disebut dgn ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut fatwa bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat talenta si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas ialah akhir dr bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dr bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor pedoman ini, Lombroso, yg diketahui dgn pemikiran Italia, menyatakan semenjak lahir penjahat sudah berlainan dgn insan lainnya, khususnya bila dilihat dr ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa talenta ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul usulan bahwa kriminalitas itu merupakan balasan dr talenta psikis atau talenta psikis & talenta ragawi.
Untuk mendapatkan bukti efek pembawaan dlm kriminalitas, berbagai macam observasi telah dijalankan dgn aneka macam macam metode. Metode yg menarik antara lain:
a. Criminal family, pengusutan dilakukan terhadap keluarga penjahat dengan-cara vertical dr satu keturunan ke keturunan yg lain
b. Statistical family, pengusutan sejarah keluarga golongan besar penjahat dengan-cara horizontal untuk memperoleh data ihwal faktor pembawaan selaku keseluruhan
c. Study of twins, pengusutan terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak mempunyai talenta kriminal, & bilamana orang itu dlm lingkungan yg cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu niscaya akan terlibat dlm kriminalitas. Hubungan antara efek pembawaan & lingkungan pada etiologi kriminal yg dikaitkan dgn penyakit-penyakit mental dgn diagram sebagai berikut
Lindesmith & Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas mampu 100 persen sebagai akibat dr aspek kepribadian namun pula mampu 100 persen sebagai balasan aspek sosial, tetapi yg paling banyak adalah selaku gabungan faktor pribadi & aspek sosial yg bareng -sama berjumlah 100 persen.
Seelig membagi relasi bakat-lingkungan-kejahatan selaku berikut:
a. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dgn imbas lingkungan yg cukupan saja sudah melakukan deik
b. Lebih banyak orang yg karena bakatnya, dgn pengaruh lingkungan yg kokoh, melakukan delik
c. Sangat sedikit orang lantaran dampak dr luar yg cukupan saja, melaksanakan delik
d. Sebagian besar orang lebih dr 50 persen, dgn bakatnya, walaupun berada di dlm lingkungan yg kurang baik & cukup kuat, tak ,menjadi kriminal.
Sauer beropini bahwa kontradiksi talenta-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, & bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis & sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dr luar yg berasal dr alam maupun penduduk , & baik itu merupakan syarat ataupun merupakan tanda-tanda yg mengiringinya, pelaku itu melaksanakan perbuatan kriminalnya. Sebagai aspek ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach menyampaikan kriminalitas yg terjadi pada orang wajar merupakan akhir dr bakat & lingkungan, yg pada suatu tatkala cuma salah satu faktor saja, pada waktu yg lain faktor yg lainnya & yg kedua-duanya mungkin saling berpengaruh.
Sutherland memulai penjelasannya ihwal teori sosiologis dgn memperlihatkan dua mekanisme yg penting yg perlu diperhatikan dlm berbagi teori alasannya musabab sikap kriminal. Yang pertama yakni abstraksi logis, penelitiannya memperlihatkan bahwa sikap kriminal itu sedikt berkaitan dgn patologi sosial & patologi pribadi. Dan yg kedua diferensiasi tingkat analisis yg artinya dlm menganalisis penyebab kejahatan haruslah dimengerti pada tingkat tertentu yg mana.
Untuk menerangkan sikap kriminal dengan-cara ilmiah mampu dilaksanakan dlm hubungan dgn :
a. Proses yg terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b. Proses yg terjadi sebelum kejahatan berjalan (Historis atau Genetik)
Proses seseorang terlibat dlm sikap kriminal ialah sebagai berikut:
a. Perilaku kriminal itu dipelajari
b. Perilaku kriminal dipelajari dlm interaksi dgn orang lain di dlm proses komunikasi
c. Inti dr mempelajari perilaku kriminal terjadi di dlm kelompok pribadi yg intim
d. Dalam mempelajari sikap kriminal, yg dipelajari mencakup:
· Teknik melaksanakan kejahatan
· Arah khusus dr motif, dorongan, rasionalisasi, & sikap.
e. Arah masalah dr motif & dorongan dipelajari dr batasan-batasan aturan
Seseorang menjadi delinkuen lantaran sikap yg condong untuk melanggar hukum melebihi sikap yg merasa tak menguntungkan bila melanggar hukum efek kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a. Seorang individu mendapat efek cuma dr satu macam kelompok;
b. Seorang individu mendapat dampak dr dua kelompok atau
c. Differential association mungkin beragam dlm hal frequensi, lamanya, prioritasnya, & intensitasnya
d. Proses belajar sikap kriminal lewat asosiasi dgn pola kriminal & anti-kriminal semua mekanisme atau cara berguru pada hal-hal yg lain
e. Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan & nilai, tetapi hal ini tak digunakan untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun pula merupakan ungkapan keperluan & nilai.
Mengenai efek individu & kelompok, bila meninjau kemungkinanlebih.
THORSTEN SELLIN beropini bahwa pertentangan antar norma dr tatanan budaya yg berbeda mungkin terjadi karena:
a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yg memiliki batas ;
b. Dalam hal norma hkum, aturan dr suatu kelompok tertentu meluas & menguasai wilayah kelompok budaya yg lain;
c. Anggota dr kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yg lain.
kecenderungan dlm teori sosiologi untuk memberikan nama kepadastruktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis insan yg tak dibatasi oleh kendali sosial. Sikap koformis implikasinya ialah sebagai akhir dr pemikiran & perkiraan akan keperluan atau karena alasan yg tak dikenali. Tokohnya ialah MERTON yg mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dlm masyarakat & bersifat non-konformis & bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial & struktur sosial terdapat dua hal yg penting, yakni: Pertama, yaitu tujuan, maksud & kepentingan budaya yg sudah bareng -sama ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yg oleh MERTON disebut “gaya hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengontrol & mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” & “cara” sangatlah perlu di dlm struktur sosial, alasannya adalah tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau kerjasama antara dua hal tersebut akan mengarah pada “anomie” yakni suasana tanpa norma dlm struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dlm bidang ekonomi yg sudah melembaga dlm penduduk dgn potensi yg diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya.
Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal menurut penekanan pada:
a. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yg terdapat dlm metode sosial
b. Aspek disorganisasi sosial
c. Aspek ketiadaan norma
d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yg terdapat di dlm kebudayaan induk (dominan culture)
C. Hubungan Kriminalitas dgn Berbagai Gejala
a. Kriminalitas & Jenis Kelamin
Angka statistik memperlihatkan bahwa jumlah wanita yg dijatuhi pidana lebih rendah ketimbang pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik dengan-cara umum. Namun bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik perbandingan pelaku delik wanita dgn laki-laki akan bertambah takaran bagi wanitanya. Misalnya saja dlm delik abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai realita ini & dapat dikelompokkan dlm tiga klasifikasi antara lain:
· Sebenarnya kriminalitas yg dikerjakan oleh perempuan jauh lebih tinggi dr angka yg ada
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yg tak dicatat karena sesuatu hal. Contohnya dlm perkara abortus, masalah ini pada umumnya akan ditutup-tutupi & disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yakni berupaya melindungi wanita. Tatkala terdapat perempuan yg melaksanakan kejahatan, laki-laki merasa perlu melindunginya.
· Kondisi lingkungan bagi perempuan ditinjau dr segi kriminologi lebih menguntungkan dibandingkan dengan kondisi bagi pria
Faktor lingkungan lebih menguntungkan wanita karena
Ø Perkawinan bagi wanita merupakan aspek anti irininogen, angka statistic memperlihatkan bahwa angka kriminalitas tertinggi oleh perempuan dilaksanakan oleh perempuan yg bercerai
Ø Jika dibandingkan dgn laki-laki, partisipasi perempuan lebih minim dlm kegiatan penduduk sehingga mampu meminimalisir pertentangan yg dapat mengarah pada kriminalitas.
· Sifat perempuan sendiri membawa pengaruh rendahnya kriminalitas
Ø Faktor fisik perempuan yg lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi
Ø Faktor psikis perempuan mempunyai variasi yg lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun jelek jarang terjadi pada perempuan
b. Kriminalitas & Cacat Tubuh
Cacat tubuh dibedakan antara yg diderita sejak kelahirannya & yg diperoleh dlm perjalanan hidupnya. Cacat tubuh yg memungkinkan menjadi aspek kriminogen antara lain:
· Wajah
· Tuli
· Buta
c. Keluarga & Hubungan Keluarga
Pengaruh keluarga muncul pada:
· Situasi Keluarga
Pada keluarga yg acak-acakan & pecah, berpotensi untuk menjadikan kejahatan
· Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, makin tinggi beban ekonominya. Anak kurang menemukan perhatian dr orang renta, kenakalan tak diperhatikan orang tua, Kemungkinan konflik dgn lingkungan lebih besar
· Anak tunggal
Ø Anak tunggal pada umumnya dimanjakan & diperlakukanover protective
Ø Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk beradaptasi selaku anggota suatu kelompok
d. Kriminalitas & Umur
Di masa belum dewasa, statistic kriminalitas tak dapat disertai dgn tegas, lantaran banyak kejahatan yg dilakukan oleh anak tak dipidana namun cuma diberitahukan pada orang bau tanah. Jenisnya bisanya berupa pencurian sederhana, perusakan barang, atau pencurian lantaran disuruh oleh orang lain
Masa remaja yakni masa peralihan dr anak-anak menuju dewasa. Di masa ini frekensi kejahatan tinggi terjadi konflik antara kesempatan & kenyataan. Macam kejahatannya mampu berawal dr pencurian biasa sampai dgn pencurian dgn kekerasan
Awal masa dewasa ialah lanjutan dr masa remaja. Frekuensi kriminalitas masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah bila dibandingkan pada masa remaja.Macam kriminalitas berupa pencurian yg lebih mutakhir, penggelapan, & seksualitas
Pada Masa Dewasa Penuh kejahatan yg dilakukan cenderung pada yg lebih memakai logika & pikiran dr pada kekuatan fisik. Frekuensinya menurun namun kualitasnya meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada kekayaan seperti penggelapan, pemalsuan, & penipuan.
Pada masa usia lanjut, kekuatan fisik maupun psikis sudah mulai menurun. Produktivitas pula menurun. Karena penghasilan menurun, dorongan untuk melakukan delik terhadap kekayaan ada kecenderungan meningkatnamun dgn cara belum dewasa.
e. Residivis
Kebanyakan resedivis melaksanakan kejahatan pada waktu masih muda. Lebih dr 50% residivis pernah melaksanakan kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yg baru mulai menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan melakukan residivis lebih kecil lantaran waktu untuk melaksanakan residivis relative pendek, pola watak pada masa dewasa sudah mantap, kriminalitas yg dilaksanakan & dimengerti orang tak jarang hanya merupakan persoalan kondisi yg kebetulan & bukannya kondisi yg berulang.
f. Keadaan Ekonomi, Lapangan Kerja, & Rekreasi
Kemelaratan miningkatkan kejahatan. Bahkan kemelaratanlah yg menyebabkan kejahatan. Kemunduran kemakmuran baik dengan-cara individu maupun pada kelompok mampu meningkatkan tingkat kriminalitas.
Kemelaratan bahu-membahu bukanlah satu-satunya faktor yg menyebabkan konflik & aspek kriminogen. Tatkala sebuah penduduk terisolasi yg penghidupannya berdasarkan penduduk lain dianggap rendah, akan dapat tetap hidup damai jika norma dlm masyarakat tersebut tak berganti & tak ada kesenjangan diantara mereka. Jurang perbedaan dlm hal kondisi ekonomi dapat menjadi aspek kriminogen.
Yang menjadi perhatian kriminologi dlm lapangan pekerjaan antara lain mirip faktor pemilihan lapangan kerja yg biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, norma di lapangan kerja terutama dlm pekerjaan yg pekerjanya saling berafiliasi dlm waktu yg usang mampu menjadikan suatu norma kerja sendiri. Jika norma lapangan kerja menyimpang, contohnya di sebua pabrik sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya, padahal di pabrik yg lain tidak, hal tersebut akan menjadi kebiasaan, & peluang yg terdapat dlm lapangan pekerjaan yg mampu berupa ketrampilan yg dipakai untuk kejahatan & lingkungan lapangan pekerjaan yg mendukung seseorang untuk melakukan tindakan melawan hukum.
Rekreasi dapat menjadi faktor kriminogen & anti-kriminogen. Melalui rekreasi akan diperoleh rasa puas & lepas dr ketegangan. Perasaan yg demikian akan meminimalisir kriminalitas. Sedangkan di sisi yg lain wisata merupakan pengeluaran. Bisa jadi pendapatan tak mampu memburu wisata yg diinginkan. Bentuk rekreasi dapat pula mengarah pada kriminalitas seperti berburu, & permainan ketrampilan yg mengarah pada perjudian.
D. Kriminalitas selaku Profesi & Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional & yg selaku kebiasaan berdasarkan Noach yaitu: “Penjahat professional memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali melaksanakan kejahatan pula mempunyai pekerjaan lain. Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dr kejahatan atau pekerjaan yg lain yg halal bukan duduk perkara”
Sutherland memperlihatkan sifat-sifat khusus dr penjahat professional antara lain sebagai berikut: “Secara teratur tiap hari mempersiapkan & melaksanakan kejahatan. Untuk itu, penjahat tersebut memerlukan kemampuan teknik guna melakukan kejahatannya & melatih diri serta menyebarkan kemampuannya itu.
Pencuri professional mampu melaksanakan kejahatannya dgn kondusif karena tiga hal yaitu:
a. Memilih cara yg paling minimum bahayanya
b. Pencuri meningkatkan ketrampilan & kemampuannya baik dengan-cara fisik maupun psikisnya
c. Dengan cara mengontrol “fix” (pemulihan) sekiranya ia tertangkap, teknik pemulihan itu pula sedemikian rupa, baik dikerjakan oleh si pencuri sendiri maupun oleh orang lain, & tak jarang polisi, jaksa, bahkan hakim dilibatkan.
Selain kejahatan dengan-cara umum, ada pula kejahatan yg terorganisasi (organized crime). Organisasi skala kecil mirip di golongan pencopet membuat normanya sendiri, dgn sanksinya yg cukup tegas & kadang kawasan operasinyapun telah dibagi. Organisasi tersebut disebut dgn organisasi informal
Terdapat pula organisasi penjahat yg bersifat lebih formal. Cirinya adalah yg pertama adanya pembagian pekerjaan, yaitu semacam keutamaan tertentu yg berada dlm jaringan sistem, kedua bahwa aktivitas masing-masing di dlm sistem tersebut dikoordinasikan dgn kegiatan lain melalui aturan permainan, persetujuan & saling pemahaman, & yg ketiga, seluruh acara tersebut dengan-cara rasional diarahkan pada suatu tujuan yg sama-sama diketahui oleh para anggotanya.
Prostitusu pula dapat dikategorikan ke dlm kejahatan professional walaupun kata kejahatan kurang tepat jika disematkan pada prostitusi lantaran bila dilihat dlm kitab undang-undang hukum pidana tak ada pasal yg mengancam prostitusi kecuali perbuatan yg memudahkan prostitusi.
Menurut Norwood East pengertian prostitusi yaitu relasi seksual yg tanpa selektif atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun dlm dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tak menutup kemungkinan pula prostitusi dilaksanakan oleh kaum laki-laki. Menurut Glover wanita yg cenderung untuk melaksanakan langkah-langkah prostitusi yaitu mereka yg mengalami gangguan psikologis maupun seksual, & merupakan akhir dr kurangnya kasih sayang & perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi perempuan untuk terjun dlm dunia prostitusi utamanya adalah kebutuhan ekonomi & harapan untuk menemukan kebutuhan yang lain disamping kebutuhan utama sehari-hari. Tidak jarang mereka yg menggeluti dlm lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yg sudah apalagi dahulu berada di dlm dunia prostitusi.

Baca Juga:  59 Kata-Kata Super! Mario Teguh (Bab 2)