SOSIOLOGI GENDER 3

SOSIOLOGI GENDER
Dosen : Dr. H. Agus Sikwan, SH., M.Hum
KESETARAAN GENDER
Kesetaraan gender yaitu mirip sebuah ungkapan “suci”yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis

, politikus, bahkan nyaris oleh para pejabat Negara. Istilah kesetaraan gender dlm tataran praksis, nyaris senantiasa diartikan sebagai keadaan “ketidaksetaraan” yg dialami oleh para perempuan. Maka istilah kesetaraan gender sering tyerkait dgn ungkapan-perumpamaan diskriminasi terhadap perempuan, mirip : subordinasi, penindasan, kekerasan, & semacamnya.

Persoalan perempuan berhubungan dgn permasalahan kesetaraan gender ini memang dapat memanggil rasa simpati yg cukup besar dr masyarakat luas. Hal ini terjadi karena permasalahan kesetraan gender sering dianggap erat kaitannya dgn dilema keadilan social dlm arti yg lebih luas., yakni berita-info yg berkisar pada persoalan kesenjangan antara orang kaya & miskin.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yg sungguh rumit & mengundang kontroversial. Hingga ketika ini belum ada konsensus mengenai pengertian dr kesetaraan gender antara pria & perempuan. Ada yg menyampaikan bahwa kesetaran yg dimaksud yakni kesamaan hak & kewajiban, yg tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yg mengartikannya dgn nkonsep mitra kesejajaran antara laki-laki & perempuan yg pula masih belum jelas artinya. Sering pula diartikan bahwa antara laki-laki & perempuan mempunyai hak yg sama dlm melaksanakan aktualisasi diri, namun mesti sesuai dgn kodratnya masing-masing.
Kesetaraan gender dapat pula bermakna adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun perempuan dlm memperoleh peluang serta hak-haknya selaku insan, agar mampu berperan & ikut serta dlm aktivitas politik, hokum, ekonomi, social budaya, pendidikan, & hankamnas, serta kesamaan dlm menikmati hasil pembangunan.
Terwujudnya kesetaraan & keadilan gender ditandai dgn tak adanya diskriminasi antara perempuan & pria, sehingga dgn demikian antara perempuan & pria memiliki saluran, kesempatan ikut serta, & kendali atas pembangunan serta memperoleh manfaat yg setara & adil dr pembangunan.
Memiliki terusan, bermakna mempunyai peluang atau potensi untuk memakai sumber daya & memiliki wewenang untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumber & hasil sumber daya tersebut.
Memiliki kendali, berarti mempunyai kewenangan sarat untuk mengambil keputusan atas penggunaan & hasil sumber daya.
Keadilan gender merupakan suatu proses & perlakuan adil kepada kaum pria & perempuan. Dengan keadilan gender mempunyai arti tak ada lagi pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, & kekerasan  terhadap perempuan & pria.
Secara biasa para feminis mengharapkan kesetaraan gender yg sama rata antara pria & perempuan  dr segala faktor kehidupan, baik di lingkungan keluarga maupun penduduk . Pada biasanya orang berprasangka bahwa feminisme merupakan gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki dlm upaya melawan pranata social yg ada, contohnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodratnya.
Dengan kesalahfahaman mirip itu, maka feminisme tak saja kurang mendapat daerah di kelompok kaum perempuan, bahkan dengan-cara lazim ditolak oleh penduduk .
Feminisme bukanlah cuma usaha emansipasi dr kaum perempuan terhadap kaum pria saja, alasannya mereka pula menyadari bahwa laki-laki khususnya kaum proletar mengalami penderitaan yg diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi, & represi dr system yg tak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dlm rangka mentransformasikan sistem & struktur yg tak adil bagi perempuan maupun pria.
Dalam diskursus femisnisme ada dua kelompok besar berkaitan dgn konsep kesetaraan gender. Kedua kelompok tersebut dlm mengetengahkan desain kesetaraan gendersatu sama lain bertolak belakang/bertentangan.
Kelompok feminis pertama, menyampaikan bahwa desain gender merupakan suatu konstruksi social sehingga perbedaan jenis kelamin tak perlu menyebabkan perbedaan peran & sikap gender dlm tataran social. Oleh sebab itu, segala macam pekerjaan yg berkaitan dgn gender, mirip perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan domestik & pria selaku pencari nafkah keluarga, harus dihilangkan dlm kehidupan sosial. Apabila masih terjadi pemilahan tugas antara pria & perempuan maka akan sulit menghilangkan keadaan ketidaksetaraan.
Kelompok feminis yg kedua, menganggap bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan & pria akan selalu berpengaruh terhadap konstruksi desain gender dlm kehidupan sosial, sehingga jenis-jenis pekerjaan stereotip gender akan selalu ada.
Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis, tetapi mereka sepaham bahwa hakekat usaha feminis yaitu demi kesamaan, martabat, & kebebasan untuk menertibkan raga & kehidupan baik di dlm maupun di luar rumah. Persoalannya yaitu bahwa feminisme bukanlah suatu gerakan homogen yg dengan-cara mudah dapat dididentifikasikan ciri-cirinya. Feminisme selaku suatu gerakan memiliki tujuan selaku berikut:
1. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dgn mengikuti kesamaan gender dlm konteks korelasi kemitraan universal dgn sesama manusia.
2. Menolak setiap perbedaan antarmanusia yg dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.
3. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
4.  Berjuang untuk membentuk legalisasi kemanusiaan yg menyeluruh perihal laki-laki & perempuan sebagai dasar aturan & peraturan wacana insan & kemanusiaan.
Kendala utama bagi perempuan untuk mampu berkiprah dengan-cara setara dgn pria diakui oleh para feminis bantu-membantu cuma alasannya perempuan saja yg dapat hamil. Kesetaraan gender cuma dapat berlaku pada perempuan muda yg belum menikah (inipun hanya sementara saja), atau perempuan yg tak mempunyai anak, atau perempuan yg benar-benar menawan diri dr kehidupan keluarga & mengabdikan 100 % hidupnya untuk pengembangan karier. Namun, perempuan yg masuk dlm klasifikasi ini dapat dihitung atau cuma beberapa persen saja.
Persoalan kesetaraan gender yg paling mendasar yakni bahwa belum semua perempuan memiliki atribut-atribut social yg mendukung pemberdayaannya dlm dalam menjangkau kesetaraan berperan. Dengan demikian, tanpa upaya menyaksikan kesetaraan gender dr sudut pandang perempuan, sepertinya subordinasi tersembunyi bagi perempuan akan tetap berjalan. Upaya-upaya yg paling sempurna dijalankan untuk mensosialisasikan kesetaraan gender ini, yaitu dgn cara :
1. Pembakuan perumpamaan gender dgn contoh pada keberadaan segala sesuatu yg ada dimasyarakat dengan-cara tradisi, dgn menimbang-nimbang banyak sekali muatan social budaya, ekonomi, & politik dlm konteks akses kepada banyak sekali muatan pembangunan.
2.  Pendekatan analisis gender tak lagi sekedar merujuk pada pembedaan biologis atau jenis kelamin (pria atau perempuan) atau sifat perseorangan (maskulin – feminin) akan tetapi mengacu pada perspektif  gender berdasarkan dimensi sosial budaya.
3. Perencanaan pembangunan perlu dilakukan dgn memikirkan perbedaan peran gender & ketergantungan antara laki-laki & perempuan sebagai sesuatu hal yg mampu diubah & akan mengalami pergeseran sesuai dgn keadaan sosial budaya penduduk yg bersangkutan.
     Jika cara ini dikerjakan, maka dapat diperlukan proses pemudaran stereotip pembagian peran sex (biologis) mampu berjalan.
Dengan demikian, sosialisasi kesetaraan gender tak lepas dgn sendirinya dr kepedulian kaum perempuan maupun laki-laki. Namun hal ini bukan mempunyai arti dlm konteks ketergantungan atau pendominasian. Kesetaraan gender ini menuntut keberanian para perempuan & kerelaan kaum pria dlm melaksanakan justifikasi terhadap mitos2 yg merugikan refleksi optimal dr aplikasi tugas menurut gender.
Kesenjangan gender diberbagai bidang pembangunan ditandai oleh masih rendahnya peluang yg dimiliki perempuan untuk melakukan pekerjaan & berusaha, serta rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, & modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekerja menunjukkan donasi yg cukup signifikan thdp penghasilan & kesejahteraan keluarganya, perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah perhiasan & pekerja keluarga. Kesemuanya ini memiliki dampak pada masih rendahnya partisipasi, jalan masuk, & kontrol yg dimiliki, serta manfaat yg dicicipi perempuan dlm pembangunan, yg antara lain ditandai oleh rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (43,5 %) dibandingkan dgn TPAK pria (72,6 %). Meskipun pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga Negara, baik pria maupun perempuan dihadapan hukum, namun masih banyak dijumpai materi hokum yg diskriminatif kepada perempuan & tak berkeadilan gender. Materi aturan dimaksud antara lain: UU Ketenagakerjaan, UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pendidikan, & UU Pajak.
Selain itu, struktur aturan & budaya hukum yg tdpt dlm masyarakat pula masih kurang mendukung terwujudnya kesetaraan & keadilan gender. Keadaan ini antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran gender di golongan penegak hukum, sedikitnya jumlah penegak aturan yg menanggulangi masalah-perkara ketidakadilan bagi perempuan, & lemahnya mekanisme pemantauan & evaluasi, khususnya yg dilakukan oleh penduduk , terhadap pelaksanaan penegakan aturan.
Belum terwujudnya kesetaraan & keadilan gender ini diperburuk oleh masih terbatasnya keterlibatan perempuan dlm proses pengambilan keputusan kebijakan public yg ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislative, administrator, yudikatif, TNI & POLRI. Hal ini antara lain ditandai oleh sedikitnya wakil perempuan dlm forum legislatif, sedikitnya pejabat struktural eselon I, II & III dlm forum direktur.

Untuk memperkecil kesenjangan tsb maka seluruh kebijakan, acara, proyek, & kesibukan pembangunan yg dikembangkan ketika ini & mendatang mesti mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, & permasalahan perempuan & pria ke dlm proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan & evaluasi.
Baca Juga:  Jelaskan Apa Yang Dimaksud Dengan Multitasking